Photobucket

Jumat, 25 Desember 2009

HIDAYAT NUR WAHID




biografi:

Nama: DR. H.M. HIDAYAT NUR WAHID, M.A
Lahir: Klaten, 8 April 1960
Agama: Islam
Jabatan:
= Ketua MPR 2004-2009
= Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera
Isteri: Hj. Kastrian Indriawati
Anak:
1. Inayatu Dzil Izzati
2. Ruzaina
3. Alla Khairi
4. Hubaib Shidiqi

Pendidikan:
- SDN Kebondalem Kidul I, Prambanan Klaten, 1972
- Pondok Pesantren Walisongo, Ngabar Ponorogo, 1973
- Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, 1978
- IAIN Sunan Kalijogo, Yogyakarta ( Fakultas Syari’ah), 1979
- Fakultas Dakwah & Ushuluddin Universitas Islam Madinah Arab Saudi, 1983
Judul Skripsi “ Mauqif Al-Yahud Min Islam Al Anshar”
- Program Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah Arab Saudi, jurusan Aqidah, 1987
Judul Skripsi “ Al Bathiniyyaun Fi Indonesia,”Ardh wa Dirosah”
- Program Doktor Pasca Sarjana Universitas Islam Medina, Arab Saudi, Fakultas Dakwah & Ushuludiin, Jurusan Aqidah, 1992
Judul Diskripsi “Nawayidh lir Rawafidh Lil Barzanji, Tahqiq wa Dirosah”

Pekerjaan:
1. Dosen Pasca Sarjana Magister Studi Islam, UMJ
2. Dosen Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum, UMJ
3. Dosen Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Dosen Fakultas Ushuluddin (Program Khusus) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Dosen Pasca Sarjana Universitas Asy-Syafi’iyah, Jakarta
6. Ketua LP2SI (Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam) Yayasan Al-Haramain, Jakarta
7. Dewan Redaksi Jurnal “Ma’rifah”
8. Ketua Forum Dakwah Indonesia

Organisasi:
- Anggota PII, 1973
- Andalan Koordinator Pramuka Gontor bidang kesekretariatan, 1977 – 1978
- Training HMI IAIN Yogyakarta, 1979
- Sekretaris MIP PPI Madinah, Arab Saudi, 1981 – 1983
- Ketua PPI Arab Saudi, 1983 – 1985
- Peneliti LKFKH (Lembaga Kajian Fiqh dan Hukum) Al Khairot
- Anggota Pengurus badan Wakaf Pondok Modern Gontor, 1999

Seminar dan Karya Ilmiah:
1. Menghadiri undangan MASG di IIlinois, AS, 1994 (Menyampaikan prasaran)
2. Menghadiri undangan International Islamic Student Organisation di Istambul, Turki, 1996
3. Seminar Internasional madrasah wak Tanjung Al-Islamiyyah, Singapore, 1998 (Menyampaikan makalah).
4. Menghadiri undangan Seminar International dari Moslem Association of Britain di Manchester dan London.
5. Seminar mahasiswa Indonesia di Malaysia, 1999 (Menyampaikan makalah).
6. Seminar Internasional dari LIPIA dari Universitas Imam Muhammad bin Saud Riyadh, di Jakarta (Menyampaikan makalah), 1999 bersama KH. Irfan Zidny, MA, Prof.Ismail Sunni dan KH. Abdullah Syukri Zarkasi, MA.
7. Menghadiri seminar Internasional di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, bekerjasama dengan Universitas Imam Muhammad Saud, Jakarta 1999.
8. Menghadiri undangan festival nasional dan seminar internasional Janadriyah, Riyad, Arab Saudi (tahun 2000) bersama Prof. Dr. Nurcholis Madjid dan Prof. Dr. Amien Rais.
9. Menghadiri undangan seminar Perkembangan Islam di Eropa dari Islamiska Forbundet I Sverige, Stockholm, Swedia.
10. Berbagai seminar di dalam negeri
11. Membimbing dan menguji tesis master mahasiswa pasca sarjana Universitas Muhammadiyah dan IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Kata Pengantar buku-buku terjemahan:
• Prinsip-prinsip Islam untuk kehidupan oleh Prof. Sholeh Shawi
• Ensiklopedi Figh wanita oleh Prof. Abdul Karim Zaid (cetakan Rabbani Pres)
• Pengantar studi Islam oleh Ust. Prof. Yusuf Al Qordhowi (cetakan Al-Kautsar)
• As-Sunnah sebagai sumber ilmu dan kebudayaan oleh Ust. Prof. Yusuf Al Qordhowi (cetakan Al-Kautsar)
• Fitnah Kubro, klarifikasi sikap para sahabat oleh Prof. Amhazun (cetakan Al-Haramain)
• Kajian atas kajian Hadits Misogini (dalam buku Feminisme)
• Tadabbur Surah Al Kahfi (dalam bulletin Tafakkur)
• Tadabbur Surah Yasin (dalam bulletin Tafakur)
• Editor terjemah tafsir Ibnu Katsir
• Menulis rubrik HIKMAH di harian REPUBLIKA
• Beberapa makalah diseminar-seminar
• Tajdid sebagai sebuah harakah (jurnal Ma’rifah)
• Revivalisme Islam dan Fundamentalisme sekuler dalam sorotan sejarah (dalam buku menggugat gerakan pembaharuan Islam)
• Inklusivisme Islam dalam literatur klasik (dalam jurnal Profetika)

Alamat :
Jl. H. Rijin No. 196, Jati Makmur, Pondok Gede, Bekasi

a politisi, uztad dan cendekiawan yang bergaya lembut serta mengedepankan moral dan dakwah. Sosoknya semakin dikenal masyarakat luas setelah ia menjabat Presiden Partai Keadilan (PK), kemudian menjadi Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai ini memperoleh suara signifikan dalam Pemilu 2004 yang mengantarkannya menjadi Ketua MPR 2004-2009. Kepemimpinnya memberi warna tersendiri dalam peta perpolitikan nasional.

Setelah terpilih menjadi Ketua MPR, dia pun mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum DPP PKS, 11 Oktober 2004. Majelis Surya DPP PKS memilih Tifatul Sembiring menggantikannya sampai akhir periode (2001-2005).

Sudah menjadi komitmen partainya, setiap kader tidak pantas merangkap jabatan di partai manakala dipercaya menjabat di lembaga kenegaraan dan pemerintahan (publik). Hal ini untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan jabatan. Sekaligus untuk dapat memusatkan diri pada jabatan di lembaga kenegaraan tersebut.

Dosen Pasca Sarjana UAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini tidak pernah bercita-cita jadi politisi. Namun setelah memasuki kegiatan politik praktis namanya melejit, bahkan dalam berbagai poling sebelum Pemilu 2004 namanya berada di peringkat atas sebagai salah seorang calon Presiden atau Wakil Presiden. Namun dia mampu menahan diri, tidak bersedia dicalonkan dalam perebutan kursi presiden kendati PKS dengan perolehan suara 7 persen lebih dalam Pemilu Legislatif berhak mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Dia menyatakan akan bersedia dicalonkan jika PKS memperoleh 20 persen suara Pemilu Legislatif.

Pada Pemilu Presiden putaran pertama PKS mendukung Capres-Cawapres Amien Rais-Siswono. Lalu karena Amien-Siswono tidak lolos ke putaran kedua, PKS mendukung Capres-Cawapres Susilo BY dan Jusuf Kalla dalam Pilpres putaran kedua. Dukungan PKS ini sangat signifikan menentukan kemenangan pasangan ini.

Kemudian partai-partai pendukung SBY-Kalla plus PPP (keluar dari Koalisi Kebangsaan) yang bergabung di legislatif dengan sebutan populer Koalisi Kerakyatan mencalonkannya menjadi Ketua MPR. Hidayat Nur Wahid sebagai Calon Paket B (Koalisi Kerakyatan) ini terpilih menjadi Ketua MPR RI 2004-2009 dengan meraih 326 suara, unggul dua suara dari Sucipto Calon Paket A (Koalisi Kebangsaan) yang meraih 324 suara, dan 3 suara abstain serta 10 suara tidak sah. Pemilihan berlangsung demokratis dalam Sidang Paripurna V MPR di Gedung MPR, Senayan, Jakarta 6 Oktober 2004.

Koalisi Kerakyatan mencalonkan Paket B yakni Hidayat Nur Wahid dari F-PKS sebagai calon ketua dan AM Fatwa dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), serta dua dari unsur Dewan Perwakilan Daerah (DPD) BRAy Mooryati Sudibyo dari DKI Jakarta dan Aksa Mahmud dari Sulawesi Selatan masing-masing sebagai calon wakil ketua. Sedangkan Koalisi Kebangsaan mencalonkan Paket A yakni Sucipto dari Fraksi PDI Perjuangan sebagai calon ketua, kemudian Theo L. Sambuaga dari Fraksi Partai Golkar dan dua unsur DPD Sarwono Kusumaatmaja dari DKI Jakarta dan Aida Ismet Nasution dari Kepulauan Riau, masing-masing sebagai calon wakil ketua.

"Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) memprihatinkan kondisi politik nasional belakangan ini, terutama anjloknya suara partai-partai Islam dalam Pemilu 2009 lalu. HMI juga memprihatinkan person-person tokoh politik Islam yang jauh dari karakteristik Islam, yakni sikap sederhana, teguh, cerdas, ikhlas, dan tawadhu. Karenanya HMI menaruh harapan besar kepada Hidayat Nurwahid, sebagai tokoh yang masih memiliki karakteristik pemimpin Islam untuk mengambil langkah-langkah koreksi dan konsolidasi untuk memperbaiki kondisi ini. “Kami berharap Bapak (Hidayat Nur Wahid) bisa menjadi tokoh nasional yang bisa mengayomi seluruh elemen masyarakat Indonesia. Dengan begitu, Indonesia bisa tampil maksimal dalam menunjukkan wajah Islam yang humanis, terbuka dan dialogis,” kata Ketua PB HMI Syahrul saat bersama pengurus HMI lainnya bersilaturrahim dengan Ketua MPR di Gedung MPR, Kamis (30/4)."

Read rest of entry

FUAD BAWAZIER




biografi :

Nama: Dr Fuad Bawazier
Lahir: Tegal, Jawa Tengah, 22 Agustus 1949
Agama: Islam

Pendidikan:
= S1 FE UGM
= S3 (doktor) ekonomi University of Maryland, Amerika Serikat

Karir:
= Asisten dosen FE UGM
= Dirjen Pajak Depkeu
= Menteri Kuangan Kabinet Pembangunan VII (1998)
= Anggota MPR-RI dari PAN 1999-2004
= Anggota DPR-RI dari PAN (2004-2009)

Organisasi:
= Pelajar Islam Indonesia (PII)
= Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
= Ketua Korps Alumni HMI (KAHMI)
= Ikatan Akuntan Indonesian (IAI)
= Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI).
= Ketua DPP Partai Amanat Nasional
= Pengurus YPI Al-Azhar Jakarta
= Ketua Pengurus Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya 2002-2007
= Ketua Persahabatan Indonesia-Malaysia (Prima)

Mantan Menteri Keuangan Orde Baru ini menjadi salah satu tokoh Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Sebelumnya, dia kader Golkar yang masuk ke Partai Amanat Nasional (PAN. Namun, akhirnya secara resmi ia mengundurkan diri dari PAN, 9 Agustus 2005. Tampaknya dia sangat kecewa atas kiprah partai itu dalam menyikapi berbagai hal yang berkembang dalam tahun-tahun terakhir ini.

Apalagi pada Kongres PAN 7-10 April 2005, dia yang sempat diunggulkan menjadi Ketua Umum PAN, ternyata kalah oleh Soetrisno Bachir atas dukungan Amien Rais.

Dukungan berpihak (restu) dari Amien Rais itu pula, salah satu penyebab kekecewaannya. Dia kecewa karena pada era reformasi ini, masih kental restu-restuan di partai. Dia yakin jika pemilihan ketua umum dilakukan secara fair dan demokratis, dia akan memenangkan pemilihan itu.

Dia salah seorang kandidat yang tergolong gencar menggalang dukungan dengan mengunjungi pengurus-pengurus wilayah dan daerah. Pengalamannya di birokrasi semasa Orde Baru menjadi kekuatan tersendiri baginya.

Bagi sebagian orang, sebutan orang orde baru mungkin dianggap sebuah momok yang merugikan bahkan menakutkan. Namun, selama lebih lima tahun reformasi bergulir, mantan pejabat orde baru yang satu ini, selalu tampil percaya diri berkiprah dalam barisan orang-orang yang menyebut diri tokoh reformis sejati.

Kiprahnya di Partai Amanat Nasional justru sangat diperhitungkan, apalagi dengan pengalaman dan kekayaannya sebagai pejabat pada masa orde baru. Pria kelahiran Tegal, Jawa Tengah, 22 Agustus 1949, yang mengawali karir sebagai asisten dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, ini menjabat Direktur Jenderal Pajak Departemen Keuangan sebelum mencapai puncak karir sebagai Menteri Keuangan terakhir rezim orde baru (1998).

Setelah bergulirnya reformasi, doktor ekonomi lulusan University of Maryland, Amerika Serikat, ini bergabung dengan tokoh reformasi Amien Rais di Partai Amanat Nasional. Ketika itu, banyak orang menduga, Fuad memang sengaja masuk dalam kubu Amien Rais yang kala itu sangat keras menghujat Pak Harto dan rezim orde baru.

Fuad dengan sangat brilian mampu berperan sedemikian baik di PAN. Pengalaman di birokrasi dan pengalaman berorganisasi yang dimiliki didayagunakannya dengan sangat intensif. Sejak sekolah, memang dia sudah gemar aktif di organisasi. Mulai dari Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sampai menjadi ketua Korps Alumni HMI (KAHMI) dan organisasi profesi Ikatan Akuntan Indonesian (IAI) dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI).

Bahkan di bidang organisasi sosial dan pendidikan, juga dia berkiprah dengan serius, seperti di YPI Al-Azhar Jakarta dan Pengurus Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya, di sini dia menjadi ketua periode 2002-2007. Juga dalam organisasi pergaulan antatbangsa dia berkiprah sebagai Ketua Persahabatan Indonesia-Malaysia (Prima).

Maka, dengan mengandalkan pengalaman di berbagai bidang itu pantas dia mengejar jabatn Ketua Umum PAN. "Saya pikir, dengan semua pengalaman organisasi dan birokrasi yang saya alami, wajar jika saya sekarang mengincar posisi Ketua Umum PAN," kata Fuad kepada para wartawan.

Fuad tampak percaya diri dalam pencalonannya kendati dia menghadapi negative campaign dengan tudingan sebagai orang orde baru. Dia tidak terlalu merisaukan sebutan orang orde baru itu. Dia terus maju menggalang dukungan ke beberapa wilayah (Dewan Pengurus Wilayah) dan daerah (Dewan Pengurus Daerah), dengan menyampaikan visi-misinya jika terpilih menjadi ketua umum PAN.

Dalam beberapa kesempatan dia melontarkan otokritik pada PAN. Pada Pemilu 1999, delapan bulan setelah berdirinya, PAN mampu meraih 7,4 juta suara. Namun, pada 2004, setelah lima tahun bekerja keras, suara PAN malah turun. Menurut Fuad, Ini pasti ada yang tak beres. Dia melihat, walau bukan persoalan besar, masalah-masalah kecil yang menumpuk telah menjadikan PAN seperti orang sakit kronis.

Menurutnya, selama lima tahun terakhir, PAN hanya memeras habis Amien. Sehingga Jelas tidak akan kuat. Sebab, ketokohan tidak akan mampu menopang organisasi yang demikian besar. Ketokohan, ada batas usia dan kemampuan. Makanya, dia menawarkan, harus membangun sistem yang kuat. Sebab, sstem akan jauh lebih kokoh dan langgeng dibandingkan dengan ketokohan. Kalau tokoh, 5-10 tahun pasti tumbang.

Maka dia pun sangat mengapresiasi inisiatif Amien Rais yang menyatakan tidak bersedia lagi dicalonkan. Menurutnya, rupanya Pak Amien sadar betul, kalau satu periode lagi memimpin, pasti akan mendorong lahirnya feodalisme dan kultus individu
Read rest of entry

Kamis, 24 Desember 2009

MUNIR




biografi :

Nama: Munir, SH
Lahir: Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965
Meninggal: Amesterdam, 7 September 2004
Agama: Islam
Isteri: Suciwati
Anak:Soultan Alif Allend (12 Oktober 1998), Diva (2 tahun)
Ibu: Ny Jamilah
Jabatan Terakhir: Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial
Pendidikan: S1 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 1990

Karir:
= Karyawan perusahaan persewaan sound system dan penjualan alat elektronik
= Sukarelawan LBH Surabaya (1989)
= Ketua LBH Surabaya Pos Malang (1991)
= Koordinator Divisi Pembunuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH Surabaya (1992-1993)
= Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya (1993-1995)
= Direktur LBH Semarang (1996)
= Sekretaris Bidang Operasional YLBHI (1996)
= Wakil Ketua Bidang Operasional YLBHI (1997)
= Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI (1998)
= Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) (16 April 1998-2001)
= Ketua Dewan Pengurus Kontras (2001)
= Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial (2004)

Organisasi:
= Sekretaris Al-Irsyad Kebupaten Malang (1998)
= Sekretaris Badan Perwakilan Mahasiswa FH Universitas Brawijaya (1988)
= Ketua Senat Mahasiswa FH Universitas Brawijaya (1989)
= Anggota HMI
= Divisi Legal Komite Solidaritas untuk Marsinah
= Sekretaris Tim Pencari Fakta Forum Indonesia Damai

Penghargaan:
= Satu orang dari 20 pemimpin politik muda Asia pada milenium baru oleh Majalah Asiaweek (Oktober 1999)
= Right Livelihood Award 2000 di Swedia (Pengabdian di bidang HAM dan kontrol terhadap militer di Indonesia (8 Desember 2000)
= Man of The Year versi majalah Ummat (1998)

Alamat Rumah:
Jalan Cendana XII No.12, Jakasampurna Permai, Bekasi Barat

Alamat Kantor:
Kontras: Jalan Borobudur No.14, Jakarta Pusat
YLBHI: Jalan Diponegoro No.74, Jakarta Pusat

Mantan Koordinator Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) ini pantas dijuluki sebagai pahlawan orang hilang. Dia seorang pejuang HAM sejati yang gigih dan berani. Keberaniannya jauh melampaui sosok pisiknya yang kerempeng. Namun, sayang, Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial kelahiran Malang 8 Desember 1965 ini, wafat dalam usia relatif muda, 39 tahun, dalam penerbangan menuju Amsterdam, 7 September 2004.


Pada 6 September 2004, isterinya Suciwati dan anaknya Soultan Alif Allend melepas Munir menuju Amsterdam (Belanda) untuk melanjutkan studi program master (S2) di Universitas Utrecht, Belanda. Alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini, sekitar pukul 21.55 WIB, naik Garuda Indonesia GA-974 menuju Singapura untuk kemudian transit terbang ke Amsterdam. Tiba di Singapura pukul 00.40 waktu Singapura, kemudian pukul pukul 01.50 waktu Singapura take off menuju Amsterdam.


Menurut sumber Tokoh Indonesia di PT Garuda Indonesia, tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, supervisor awak kabin bernama Najib melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta Najib terus memonitor kondisi Munir. Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya. Penerbangan menuju Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.

Pejuang hak asasi manusia (HAM) itu, pergi untuk selama-lamanya. Bangsa ini kehilangan seorang tokoh muda yang dikenal gigih membela kebenaran sejak Pak Harto masih berkuasa. Kematian pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), itu pun segera mendapat perhatian amat luas di Indonesia. Banyak SMS dan telepon ke berbagai media menanyakan kebenaran berita duka itu.


Sejumlah orang terkejut dan bersedih. Mereka berdatangan ke rumah almarhum yang tampak sederhana di Jalan Cendana XII No.12 Jakasampurna Permai, Bekasi Barat. Di antaranya, para aktivis LSM, Munarman (YLBHI), dan Smita Notosusanto (Cetro) serta para keluarga korban pelanggaran HAM Semanggi I-II, Trisakti, Mei 98, dan Tanjung Priok.


Pejuang HAM yang sempat bekerja di sebuah perusahaan persewaan soud system dan menjual alat-alat elktronik, itu sejak mahasiswa terkenal keras hati. Sebelum menyelesaikan studinya di FH Universitas Brawidjaja (1990) sudah aktif sebagai sukarelawan LBH Surabaya (1989). Kemudian menjadi anggota LBH dan menjabat Ketua LBH Surabaya Pos Malang (1991). Lalu menjabat Koordinator Divisi Pembunuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH Surabaya (1992-1993) dan Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya (1993-1995).

Sebelum hijrah ke Jakarta menjabat Sekretaris Bidang Operasional YLBHI (1996), dia lebih dulu menjabat Direktur LBH Semarang (1996). Kemudian di YLBHI dia menjabat Wakil Ketua Bidang Operasional (1997) dan Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI (1998). Sampai kemudian dia mendirikan dan menjabat Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) (16 April 1998-2001) dan Ketua Dewan Pengurus Kontras (2001).

Saat menjabat Koordinator Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Pak Harto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus (waktu itu) Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.

Dia pun memperoleh The Right Livelihood Award di Swedia (2000) sebuah penghargaan prestisius yang disebut sebagai Nobel alternatif. Sebelumnya, Majalah Asiaweek (Oktober 1999) menobatkannya menjadi salah seorang dari 20 pemimpin politik muda Asia pada milenium baru dan Man of The Year versi majalah Ummat (1998). Ia mendapat hadiah uang dari Yayasan The Right Livelihood Award sebesar Rp 500 juta. Separoh dari hadiah itu diberikan ke Kontras dan sebagian lagi dikirim kepada ibunya di Malang untuk renovasi rumah.

Sementara, kendati namanya sudah mendunia, Munir tetap hidup bersahaja. Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial (2004), ini tinggal di rumah sederhana dan ke mana-mana naik sepeda motor. Sekali waktu motornya pernah dicuri. Padahal ia pun sering mendapat ancaman. Saat membongkar kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, ia pun diancam akan dijadikan sosis oleh orang yang mengaku aparat keamanan. Begitu pula ketika dia membongkar kasus penculikan aktivis mahasiswa pada akhir kekuasaan Soeharto. Bahkan rumah ibunya pun (Ny Jamilah, 78) pernah diancam bom. Dia juga pernah diisukan anak Gerwani oleh sebuah majalah. Majalah itu kemudian minta maaf.


Munir merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara. Di kalangan keluarga, teman dekat dan tetangganya, dia dikenal sebagai orang yang memiliki kepedulian sosial. “Sejak mengenyam pendidikan di SD Muhammadiyah di kota kelahirannya dia terlihat suka menolong orang lain,” ungkap Ali Ahmad, salah seorang keluarga almarhum kepada Jawa Pos.


Minur meninggal seorang istri, Suciwati, dan dua orang anak, Sultan Alif Allende (5) dan Diva (2). Menurut penuturan isterinya, tak ada satu pun firasat yang dirasakan sebelum kepergian Munir yang begitu mendadak ini. Pertemuan mereka terakhir terjadi Senin malam 6 September 2004, tatkala mereka melepas Munir terbang ke Belanda dengan pesawat Garuda.


Mereka tiba di bandara sekitar satu setengah jam sebelum pesawat take off. Di bandara, teman-teman Munir dari Imparsial sudah ada yang ikut menunggu. Saat itu, Munir memang tampak berat berpisah dengan keluarganya. Meski, rencananya, isteri dan anaknya akan menyusul beberapa bulan kemudian. Isterinya sangat terkejut, ketika Usman Hamid (koordinator Kontras) memberitahukan meninggalnya Munir.


Belum diketahui pasti apa penyakit yang menyebabkan kematian Munir. Dalam general check up yang dilakukan sebelum Munir berangkat ke Belanda, sebagai salah satu prasyarat yang harus disertakan, kondisi kesehatannya dinyatakan baik-baik saja. Menurut Suciwati, setahun lalu, Munir memang sempat di rawat di RS Saint Carolus. “Saat itu, dokter berpesan supaya suami saya itu tidak terlalu lelah. Kalau bisa, dalam sebulan, istilahnya liburnya seminggu,” kata Suciwati.


Memang semakin mendekati hari keberangkatannya ke Belanda, Munir terlihat sibuk ke sana-kemari untuk menghadiri dengan berbagai acara dan persiapan. Misalnya, pada Selasa ada pesta perpisahan yang dilakukan Kontras. Lalu, pada Jumatnya, 3 September 2004, Munir menghadiri acara makan siang bersama di Kantor Imparsial di Jalan Diponegoro, Jakarta. Sore harinya masih ada acara "perpisahan" yang diadakan Propatria di Hotel Santika, Jakarta. Tapi, kondisi Munir saat itu tampak baik-baik.


Dalam acara itu Munir banyak menyampaikan harapan bahwa dia akan mengambil program doktor sekaligus, meskipun beasiswa yang diperolehnya hanya untuk program master di Universitas Utrecht.
Read rest of entry

LAFRAN PANE



Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diprakasai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk ditingkat I yang ketika itu genap berusia 25 tahun. Tentang sosok Lafran Pane, dapat diceritakan secara garis besarnya antara lain bahwa Pemuda Lafran Pane lahir di Sipirok-Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Beliau adalah anak seorang Sutan Pangurabaan Pane ???tokoh pergerakan nasional ???serba komplit??? dari Sipirok, Tapanuli Selatan-. Lafaran Pane adalah sosok yang tidak mengenal lelah dalam proses pencarian jati dirinya, dan secara kritis mencari kebenaran sejati. Lafran Pane kecil, remaja dan menjelang dewasa yang nakal, pemberontak, dan ???bukan anak sekolah yang rajin??? adalah identitas fundamental Lafran sebagai ciri paling menonjol dari Independensinya. Sebagai figur pencarai sejati, independensi Lafran terasah, terbentuk, dan sekaligus teruji, di lembaga-lembaga pendidikan yang tidak Ia lalui dengan ???Normal??? dan ???lurus??? itu (-Walau Pemuda Lafran Pane yang tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim terpelajar pernah juga menganyam pendidikan di Pesantren Ibtidaiyah, Wusta dan sekolah Muhammadiyah-) ; pada hidup berpetualang di sepanjang jalanan kota Medan, terutama di kawasan Jalan Kesawan; pada kehidupan dengan tidur tidak menentu; pada kaki-kaki lima dan emper pertokoan; juga pada kehidupan yang Ia jalani dengan menjual karcis bioskop, menjual es lilin, dll.

Dari perjalanan hidup Lafran dapat diketahui bahwa struktur fundamental independensi diri Lafran terletak pada kesediaan dan keteguhan Dia untuk terus secara kritis mencari kebenaran sejati dengan tanpa lelah, dimana saja, kepada saja, dan kapan saja.

Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: "Melihat dan menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat???

sumber : http://hmisttwastukancana.blogspot.com/

Read rest of entry

KOMARUDIN HIDAYAT




biografi :

Nama: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Lahir: Muntilan, Pabelan, Magelang, 18 Oktober 1953
Agama: Islam

Jabatan:
- Rektor UIN Jakarta, 2006-2010
- Ketua Panitia Pengawas Pemilu 2004

Pendidikan:
= Ponpes Pabelan, Magelang (1969)
= Sarjana Fakultas Ushuludin IAIN Jakarta (1981)
= IMaster and PhD Bidang Filsafat pada Middle East Technical University, Ankara, Turki (1995)
= Post Doctorate Research Program di Harfort Seminary, Conecricut, AS, selama satu smester (1997)
= International Visitor Program (IVP) ke AS (2002)

Pengalaman Kerja:
= Guru Besar Filsafat Agama, UIN Jakarta (2001-sekarang)
= Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina (1996-2000)
= Associate Trainer/Consultant bidang HRD pada Vita Niaga Colsultant (1999-sekarang)
= Dosen Tetap Institut Bankir Indonesia (2000-sekarang)
= Dosen Pascasarjana Universitas Gajah Mada (2003-sekarang)
= Advisory Board Member of Common Ground Indonesia (2001-sekarang)
= Ketua Panitia Pengawas Pemilu Pusat (2003-2004)
= Chairman pada Indonesia Procurement Watch (2002-sekarang)
= Direktur Eksekutif Pendidikan Madania (2001-sekarang)
= Dewan Pertimbangan Pendidikan DKI Jakarta (2004-sekarang)
= Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (2005-sekarang)
= Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan RI (2005-sekarang)
- Ketua Panitia Pengawas Pemilu, 2004
- Rektor UIN Jakarta, 2006-2010

Karya Tulis
= Memahami Bahasa Agama (1996)
= Masa Depan Agama (1995)
= Tragedi Raja Midas (1998)
= Tuhan Begitu Dekat (2000)
= Wahyu di Langit, Wahyu di Bumi (2002)
= Menafsirkan Kehendak Tuhan (2003)
= Psikologi Kematian (2005)

Direktur Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta dan mantan Ketua Panwaslu 2004 Prof Dr Komaruddin Hidayat terpilih dengan suara muutlak (61 dari 80 suara senat) sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk masa bakti 2006-2010. Dia menggantikan Prof Dr Azyumardi Azra, MA, yang sudah dua kali menduduki jabatan tersebut.

Komaruddin terpilih dalam rapat Senat Universitas yang dipimpin Azyumardi, di Auditorium Utama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (17/10/2006). Komaruddin menang mutlak dengan meraih 61 suara dari 80 suara anggota senat. Dia mengungguli dua calon lainnya, yaitu Prof. Dr. Masykuri Abdillah yang memperoleh 16 suara dan Prof. Dr. Suwito mendapat 2 suara. Satu suara lainnya tidak sah..


Lahir di Magelang, Jawa Tengah, 18 Oktober 1953. Alumni pesantren modern Pabelan, Magelang (1969) dan pesantren al-Iman, Muntilan (1971). Menyelesaikan Sarjana Muda (BA) di bidang Pendidikan Islam (1977) dan Sarjana Lengkap (Drs.) di bidang Pendidikan Islam (1981) di IAIN Jakarta. Meraih doktor di bidang Filsafat Barat di Middle East Techical University, Ankara, Turkey (1990).

Menulis di berbagai media massa. Dosen pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Jakarta (sejak 1990); dosen pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia (sejak 1992); dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara (sejak 1993). Selain sebagai dosen, ia juga sebagai Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur`an (sejak 1991); Dewan Redaksi jurnal Studia Islamika (sejak 1994); Dewan Editor dalam penulisan Encylopedia of Islamic World; dan Direktur pada Pusat Kajian Pengembangan Islam Kontemporer, IAIN Jakarta (sejak 1995). Sejak tahun 1990, ia merupakan salah satu peneliti dan dosen tetap Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta

Ketua Panwaslu 2004
Yang lebih penting Pemilu 2004 adalah mementum penting supaya semua pihak memiliki kehidupan berpolitik sesuai etika dan beradab. "Tugas Panwaslu adalah mengawasi semua pihak peserta Pemilu agar tetap di rel etika dan beradab sesuai ketentuan hukum," tukas ketua Panwaslu Prof Dr kommaruddin Hidayat.

Duduk sebagai nahoda di Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Pusat adalah Prof Dr Komaruddin Hidayat. Cendekiawan muslim yang mengawali pendidikannya di Pondok Pesantren Pabelan Magelang (1969) itu terpilih menjadi Ketua Panwas Pusat.

Mengantongi gelar Master dan Philoshophy of Doctor (PhD) dari Universitas Ankara, Turki (1990) bagi mantan birokrat ketika menjabat Dirjen Dikti Departemen Agama, ini jabatan baru buat Komarudin. Betapa tidak, ia juga harus bergelut sebagai staf pengajar pasca sarjana di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Jakarta.

Mengusik latarbelakangnya, agaknya terlalu dini untuk menyebut Komaruddin yang Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina ini sebagai pembawa label generasi pewaris Cak Nur, Sebab, menurutnya, bertugas di Panwaslu adalah demi kepentingan semua pihak itu.

Komarudin, 40 tahun, menuturkan, salah satu motivasinya bertugas di Panwaslu adalah berusaha untuk mengakhiri jargon "masa transisi" seperti banyak dipergunjingkan dalam kehidupan berpolitik di negara ini. Memang disebut-sebut, pelanggaran dalam proses pemilu adalah ciri khas bangsa di masa transisi. Masa lalu lazimnya dituding karena pemerintah tidak membuka keran penuh, tidak saja bagi edukasi berpolitik massa, juga di sektor kehidupan lainnya.

Justru itu Pemilu 2004 harus berhasil, dalam arti target bahwa wakil rakyat dan pemerintah sesuai dengan keinginan rakyat harus dicapai. "Panwaslu bekerja untuk menjadikan Pemilu 2004 sebagi titik recovery. Kita harus mengakhiri masa transisi. Jika gagal, negara ini akan semakin rusak," kata Komarudin.

Di bagian lain, menurut catatan sementara yang diperoleh, sejak awal Panwaslu terbentuk sudah ada puluhan kasus pelanggaran Pemilu yang dilaporkan masyarakat dan sedang diproses di Panwaslu. Bahkan, sebagian dari laporan masyarakat itu, karena memenuhi syarat, telah dilimpahkan Panwaslu ke pihak penyidik dalam hal ini kepolisian.

Biasnya, indikasi ini bisa menepis sikap skeptis sementara pihak bahwa Panwaslu-seperti pendahulunya-- tidak akan bisa berbuat banyak dalam upaya penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran Pemilu. "Semua pihak harus mendukung tugas Panwaslu. Masyarakat harus mau lapor jika ada pelanggaran Pemilu," tukas ketua Panwaslu.

Tak tampak siksaan sibuk bagi Komaruddin ketika ada panggilan tugas Panwaslu. Misalnya soal waktu berkumpul dengan keluarga, kapan? Justru, di hari-hari libur tugas Panwaslu acap memanggil. "Tidak masalah. Dari dahulu saya sering mengajak keluarga ikut dengan saya ke lapangan. Biar mereka mengerti apa saja yang saya kerjakan sehari-hari," tuturnya. (http://www.panwaspemilu.org/p_ang_hidayat.php)


Ke Jakarta untuk Menaklukan Kemiskinan

Indopos, Minggu, 22 Okt 2006: Puncak karir dunia akademik tergapai. Meraih gelar doktor hingga profesor. Yang terbaru, Komaruddin Hidayat dipercaya menjadi rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Apa filosofi hingga dia mencapai mahkota karirnya itu?

Suatu saat Komar, demikian sapaan akrabnya, didaulat menjadi pembicara di hadapan rektor dan guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM). Kampus UGM itu memang tidak jauh dari kampung Komar, Magelang. Kira-kira satu jam perjalanan. Saat itu, Komar merenung, kok bisa dirinya berbicara di hadapan para profesor di kampus bergengsi itu. Dia tertawa merefleksi perjalanan hidupnya tersebut.

Sebagai seorang santri tulen, dulu Komar berpikir bahwa UGM itu menjadi almamater yang tidak terjangkau. "Dulu saya mimpi untuk masuk saja tidak berani, apalagi jadi dosen di sana karena memang tidak ada jalurnya bagi orang miskin yang besar di pesantren," katanya. Jadi, kata Komar, dia sering tertawa sendiri.

Kini, hal yang untuk dimpikan saja tak berani itu menjadi kenyatan. Komar dipercaya menjadi dosen di program Pascasarjana UGM. Anehnya, untuk menjadi pengajar di kampus yang terletak di sebelah tanah kelahirannya tersebut, dia harus berputar-putar terlebih dahulu. "Hidup ini memang sandiwara. Untuk bisa melakukan itu, saya harus bertahun-tahun berputar melalui Jakarta, Amerika, Kanada, Turki, dan lainnya," kata mantan ketua Panwaslu 2004 tersebut.

Untuk bisa seperti sekarang, Komar mengaku memiliki motivasi besar yang dilatarbelakangi empat hal penting yang menjadi titik balik bagi hidupnya. Pertama, kondisi kampung halaman yang menyedihkan. Kedua, wafatnya ibu tercinta sejak kecil. Ketiga, sosok neneknya, Qomariyah, yang arif dan menanamkan spirit kehidupan yang besar. Keempat, hadirnya sosok Kiai Hamam Ja’far dan kondisi pesantren yang menjadi setting sosial tempat dirinya tumbuh menjadi sosok yang dewasa.

Komar mengaku sangat trenyuh melihat realitas sosial yang timpang di kampung halamannya. "Saya melihat toko-toko besar di sekitar kampung saya itu menindas masyarakat saya. Ketika saya pulang dari studi, kondisi tersebut tidak berubah. Banyak teman-teman masa kecil saya yang nasibnya mengenaskan sebagai petani," ujarnya.

Pemerintah, jelas Komar, sama sekali tidak berhasil mengangkat harkat dan martabat masyarakat petani. Di sisi lain, harta kekayaaan negara dihabiskan untuk foya-foya oleh para pejabat korup. "Ini menjadi spirit saya untuk gesit dalam bergerak. Saat itu saya bertekad untuk meninggalkan kampung yang tidak memberikan harapan itu, no hope no future," tegasnya. Komar berharap, suatu saat dirinya akan kembali untuk memberikan sesuatu yang berarti kepada masyarakat di kampungnya.

Spirit itu dikuatkan kerinduannya akan sosok seorang ibu yang telah lama meninggalkannya. Dengan semangat yang menggebu, Komar muda nekat bertarung di ibu kota Jakarta. Dia ingin membuktikan keberhasilannya kepada sang orang tua.

Akar motivasi perubahan tersebut diperkuat hadirnya seorang nenek dari garis ibu, yang sejak kecil mengasuhnya. Sejak kecil, tanpa disadari, sang nenek yang bernama Qomariyah itu memberikan hipnoterapi kepada Komar. Dalam ilmu psikologi, 88 persen perilaku seseorang itu digerakkan alam bawah sadarnya (Hipnoteraphy for Education: 2006).

Alam bawah sadar tersebut tersusun dari rekaman masa lalu berupa keinginan yang terpendam. "Sejak kecil, saya akrab dengan nenek karena sejak usia 9 tahun, ibu sudah meninggal. Setiap malam, antara tidur dan tidak, saya melihat nenek salat tahajud. Beliau juga membaca Alquran. Seusai melakukan itu, kepala saya diusap-usap, lalu ditiupkan petuah-petuah orang tua," katanya.

Komar menceritakan, sembari mendendangkan salawat nabi, sang nenek sering bertutur, "Komar, nanti kalau kamu besar, kamu akan mencangkul, tapi tidak menggunakan cangkul, tetapi menggunakan pena dan bolpoin. Komar, nanti kalau kamu besar, rumahmu terang benderang, tidak seperti rumah ini yang diterangi lampu teplok. Komar, kelak kamu akan jalan-jalan berkeliling dunia, naik pesawat terbang, nanti kamu banyak temannya," ujar sang nenek yang hidup dalam kondisi sangat sederhana itu.

Menurut Komar, apa yang dituturkan neneknya itu terekam dalam alam bawah sadar dan menjadi sugesti positif, yang menggerakkan kesadaran dan otak kanannya dalam meniti hidup. "Apa yang dilakukan nenek saya tersebut telah mengondisikan saya untuk mengakrabi dunia filsafat. Waktu itu saya tidak tahu itu filsafat," ujar mantan wartawan majalah Panji Masyarakat tersebut.

Selain pentingnya sosok sang nenek, karakter personal Komar diperkuat kehadiran Kiai Hamam Ja’far di Pesantren Pabelan, Magelang. Komar menilai, sosok Kiai Hamam yang sudah dianggap sebagai ayahnya itu seperti sosok Nabi Musa. Yakni, figur pemimpin, panutan, dan pemberi petunjuk yang selalu bersikap keras untuk menaklukkan ketimpangan dan kemiskinan.

"Kiai Hamam mengajarkan kepada saya bahwa manusia punya hak untuk merdeka, untuk hidup. ’Bumi ini untuk manusia, maka kamu berhak menikmati hidup ini’ kata guru saya. Itulah ajaran Alquran untuk menjunjung spirit dan etos hijrah dalam menjalani hidup," katanya. Sang kiai juga berpesan, "Lihat air itu, kalau mandek, dia akan menjadi penyakit dan kalau bergerak, dia akan bersih," kenangnya.

Karena desa miskin, ibu meninggal, nenek filosofis, dan sosok kiai serta dunia pesantren yang memiliki kondisi sosial berbeda itu Komar memiliki spirit "liar" untuk memperbaiki hidup dan masyarakat.

"Umur 18 tahun, saya bertekad mendatangi Jakarta. Prinsip saya, kalau di Jakarta itu banyak gula, saya ibarat semut, masak saya tidak tidak akan merasakan manisnya gula itu," ungkapnya. Saat itu, Komar tidak berpikir kerasnya persaingan di ibu kota. "Saya yakin ibu kota memberi harapan besar pada saya. Di sana ada ilmu, uang, informasi, dan sebagainya. Waktu itu saya nekat bermodal dengkul," tegas Komar.

Komar memegang prinsip bahwa kalau kita ingin menolong orang lain, tolonglah diri kita sendiri. "Berdiri pada kaki sendiri adalah pangkal kesuksesan (al-I’timad ala an-nafsi asasu an-naja). Jangan pikir orang lain dulu, tapi pikirkan dirimu sendiri lebih dahulu," tegasnya.

Di balik kesuksesannya itu, Komar melihat bahwa doa orang tua adalah faktor yang sangat mustajab. "Saya kadang malu meminta-minta kepada Allah. Sebab, kalau saya minta, saya merasa selalu dikabulkan. Saya takut pada Allah untuk tidak bisa bersyukur. Maka, saya selalu berdoa allahummaj’alni mina al-syakirin, jadi saya malu kalau tidak bersyukur," katanya.

Ke depan Komar mengaku ingin menjalani hidup dengan mengalir. "Saya berprinsip yesterday is history, now is gift or present, tomorrow is mystery. Jadi, let us celebrate the life. Hidup itu rekreasi, jadi harus happy dengan cara berbuat baik dan beramal saleh," ujarnya. Kita sekarang harus menanam benih di kebun, lanjut Komar, siapa tahu kafilah berikutnya bisa memetik buahnya. Siapa tahu juga bisa dibuat berteduh oleh orang yang berlalu. "Dengan cara itu, kelak kalau pulang kampung (meninggalkan dunia yang fana ini, Red) kan bisa tenang," ujarnya.
Read rest of entry

AZYUMARDI AZRA




Biografi :

Nama: Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
Lahir: Lubuk Alung, Sumatera Barat, 4 Maret 1955
Agama: Islam
Istri: Ipah Fariha, kelahiran Bogor 19 Agustus 1959 (Menikah: 13 Maret 1983)
Anak: Raushanfikri Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad Subhan Azra, dan Emily Sakina Azra
Pendidikan:
1. Fakultas Tarbiyah, IAIN Jakarta, 1982
2. Master of Art (MA), Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University, 1998
3. Master of Philosophy (Mphil), pada Departemen Sejarah, Columbia University, tahun 1990
4. Doktor Philosophy Degree, tahun 1992
Karir:
1. Wartawan Panji Masyarakat (1979-1985)
2. Dosen Pasca Sarjana Fakultas Adab dan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992-sekarang)
3. Guru Besar Sejarah Fakultas Adab IAIN Jakarta
4. Pembantu Rektor I IAIN Jakarta (1998)
5. Rektor IAIN (UIN)Jakarta (1998-2006)
6. Professor Fellow di Universitas Melbourne, Asutralia (2004-2009)
7. Anggota Dewan Penyantun (Board of Trustees) International Islamic University Islamabad, Pakistan (2004-2009)
Kegiatan Lain :
1. Ketua Umum Senat Mahasiswa Fak Tarbiyah IAIN Jakarta (1979-1982)
2. Ketua Umum HMI Cabang Ciputat (1981-1982)
3. Anggota Selection Committee Toyota Foundation & The Japan Foundation (1998-1999)
4. Anggota SC SEASREP (1998)
5. Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) (1998-sekarang)
6. Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS)
7. Anggota the International Association of Historian of Asia (1998-sekarang)
8. Visiting Fellow pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University (1994-1995)
9. Dosen Tamu University of Philippines dan University Malaya (1997)
10. External Examiner, PhD Program Universiti Malaya (1998-sekarang)
11. Anggota Dewan Redaksi Jurnal Ulumul Quran
12. Anggota Dewan Redaksi Islamika
13. Pemimpin Redaksi Studia Islamika
14. Wakil Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat IAIN Jakarta
15. Anggota Redaksi Jurnal Qquranic Studies, SOAS/University of London
16. Anggota Redaksi Jurnal Ushuludin Univeristy Malaya, Kuala Lumpur
Menulis 18 buku tentang Islam dan memiliki koleksi 15.000 judul buku
Buku Terbit:
1. Jaringan Ulama, terbit tahun 1994
2. Pergolakan Poitik Islam, terbit tahun 1996
3. Islam Reformis, terbit tahun 1999
4. Konteks Berteologi di Indonesia, terbit tahun 1999
5. Menuju Masyarakat Madani, terbit tahun 1999
6. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, terbit tahun 1999
7. Esei-esei Pendidikan Islam dan Cendekiawan Muslim,1999
8. Renaisans Islam di Asia Tenggara –buku ini berhasil memenangkan penghargaan nasional sebagai buku terbaik untuk kategori ilmu-ilmu sosial dan humaniora di tahun 1999, terbit tahun 1999
9. Islam Substantif, terbit tahun 2000
10. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah (2002)
11. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi (2002)
12. Reposisi Hubungan Agama dan Negara (2002)
13. Menggapai Solidaritas: Tensi antara Demokrasi, Fundamentalisme, dan Humanisme (2002)
14. Konflik Baru Antar-Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, dan Pluralitas
15. Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (2002)
16. Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (2003)
17. Disertasi doktor berjudul “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries’”, pada tahun 2004 sesudah direvisi diterbitkan secara simultan di Canberra (Allen Unwin dan AAAS), di Honolulu (Hawaii University Press), dan di Leiden Negeri Belanda (KITLV Press).
Penghargaan:
Penulis Paling Produktif, dari Penerbit Mizan, Bandung, tahun 2002


Mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, ini perlahan namun pasti semakin kokoh sebagai pemikir Islam pembaharu. Pemilik nama Azyumardi Azra yang mempunyai arti mendalam sebagai “permata hijau”, tak kurang telah menulis sembilan buku tentang Islam. Koleksi bukunya sudah mencapai 15.000 judul buku. Namanya pun diapit lengkap oleh gelar Prof., Dr., dan MA.

Menurut pengakuan pria Minangkabau kelahiran Lubuk Alung, Sumatera Barat, 4 Maret 1955 , ini perjalanan hidupnya mengalir begitu saja, seperti air. Sikap intelektualnya pun bertumbuh alami dari awal seiring dengan komunitas diskusi yang dimasukinya. Ketika masih mahasiswa, komunitas intelektualnya adalah Forum Diskusi Mahasiswa Ciputat (Formaci), kemudian HMI di lingkungan Ciputat, lalu meningkat ke LP3ES, bahkan sampai ke LIPI sebelum melanglang buana ke mancanegara. Sekarang daya nalar intelektualnya dibutuhkan dimana-mana sebagai rujukan untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa.

Azyumardi Azra kini dikenal pula sebagai profesor yang ahli sejarah Islam dan nilai-nilai hidup Nabi Muhammad. Sejak tahun 1998 hingga sekarang dia adalah rektor pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang sejak Mei 2002 lalu berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.

Pada awalnya sesungguhnya Azyumardi tidaklah berobsesi atau bercita-cita menggeluti studi keislaman. Sebab, dia lebih berniat memasuki bidang kependidikan umum di IKIP. Adalah desakan ayahnya, yang menyuruh Azyumardi masuk ke IAIN sehingga dia kini dikenal sebagai tokoh intelektual Islam masa depan. Dia lahir dari ayah Azikur dan ibu Ramlah.

Azyumardi lulus dari Fakultas Tarbiyah, IAIN Jakarta pada tahun 1982. Pada tahun 1986 memperoleh beasiswa Fullbright Scholarship untuk melanjutkan studi ke Columbia University, Amerika Serikat. Dia memperoleh gelar MA (Master of Art) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah pada tahun 1998. Kemudian, memenangkan beasiswa Columbia President Fellowship dari kampus yang sama, tapi kali ini Azyumardi pindah ke Departemen Sejarah, dan memperoleh gelar MA lain di tahun 1989, kemudian gelar Master of Philosophy (Mphil) di tahun 1990, serta doktor Philosophy Degree (PhD) di tahun 1992 dengan disertasi berjudul “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian `Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”. Disertasi ini bahkan telah dipublikasikan oleh Australia Association of Asian Studies bekerjasama dengan Allen Unwin.

Kembali ke Jakarta, di tahun 1993 Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam. Kembali melanglang buana, pada tahun 1994-1995 dia mengunjungi Southeast Asian Studies pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University, Inggris, sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony College. Azyumardi pernah pula menjadi profesor tamu pada University of Philippines, Philipina dan University Malaya, Malaysia keduanya di tahun 1997. Selain itu, dia adalah anggota dari Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang diorganisir oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo, Jepang antara tahun 1997-1999.

Di tahun 2001 Azyumardi Azra memperoleh kepercayaan sebagai profesor tamu internasional pada Deparmen Studi Timur Tengah, New York University (NYU). Sebagai dosen, dia antara lain mengajar pada NYU, Harvard University (di Asia Center), serta pada Columbia University. Dia juga dipercaya menjadi pembimbing sekaligus penguji asing untuk beberapa disertasi di Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, maupun di University of Leiden.

Suami dari Ipah Fariha serta ayah empat orang anak, Raushanfikri Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad Subhan Azra, dan Emily Sakina Azra ini, juga aktif mempresentasikan makalah pada berbagai seminar dan workshop setingkat nasional maupun internasional. Pria yang pernah tercatat sebagai wartawan “Panji Masyarakat” di tahun 1979-1985 ini, telah menulis dan menterbitkan buku antara lain berjudul Jaringan Ulama (Tahun 1994), Pergolakan Poitik Islam (1996), Islam Reformis (1999), Konteks Berteologi di Indonesia (1999), Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (1999), Esei-esei Pendidikan Islam dan Cendekiawan Muslim (1999), Renaisans Islam di Asia Tenggara –buku ini berhasil memenangkan penghargaan nasional sebagai buku terbaik untuk kategori ilmu-ilmu sosial dan humaniora di tahun 1999, dan buku Islam Substantif (tahun 2000).

Pehobi joging dan menonton pertandingan sepakbola ini awalnya menampik sebagai pimpinan kampus, terutama ketika ditunjuk menjadi Pembantu Rektor (Purek) I Bidang Akademik. Namun dia sadar, adalah kampusnya itu yang telah membentuk kadar intelektualnya, yang telah pula mengirimnya sekolah kemana-mana sehingga semuanya dianggapnya sebagai utang. Kesediaan menjadi Purek ternyata bermakna lain, menjadi sinyal bagi sejawatnya bahwa jika dipercayakan sebagai rektor dia pasti tidak bisa menolak. “Itu saya sebut sebagai musibah,” katanya suatu ketika, menanggapi penunjukannya sebagai rektor.

Dia pun lantas memperlebar makna kampusnya, dari IAIN manjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah sejak Mei 2002 lalu. Perubahan itu disebutkannya sebagai kelanjutan ide rektor terdahulu Prof. Dr. Harun Nasution, yang menginginkan lulusan IAIN haruslah orang yang berpikiran rasional, modern, demokratis, dan toleran. Lulusan yang tidak memisahkan ilmu agama dengan ilmu umum, tidak memahami agama secara literer, menjadi Islam yang rasional bukan Islam yang madzhabi atau terikat pada satu mazhab tertentu saja. Itulah sebabnya, kata pemilik 12 ribu mahasiswa itu, untuk mencapai ide tersebut institusinya harus dibenahi agar ilmu umum dan agama bisa saling berinteraksi. Dan satu-satunya cara adalah mengembangkan IAIN menjadi universitas sehingga muncullah fakultas sains, ekonomi, teknologi, MIPA, komunikasi, matematika, dan lain-lain.

Azyumardi juga ingin agar wawasan keislaman akademik yang dikembangkannya harus mempunyai wawasan keindonesiaan sebab hidup kampusnya di Indonesia. “Jadi, keislaman yang akan kita kembangkan itu adalah keislaman yang konstekstual dengan Indonesia karena tantangan umat muslim di sini adalah tantangan Indonesia,” ujarnya. Pendekatannya terhadap agama adalah pendekatan yang tidak berfanatisme dan bermadzhab, berbeda dengan anak-anak yang memahami agama secara literer yang cenderung hitam putih
Read rest of entry

AKBAR TANDJUNG




Biografi :

Nama: Akbar Tandjung
Lahir: Sibolga, 14 Agustus 1945
Jabatan: Ketua DPR-RI 1999-2004

Alamat Rumah:
JI. Widya Chandra 111/No.10 Jakarta Selatan

Mantan Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR RI menapaki jenjang karir politik dari bawah. Hidupnya adalah dunia politik. Pria kelahiran Sibolga, 14 Agustus 1945, ini kalah di kandang sendiri dalam konvensi capres Partai Golkar. Kemudian dalam Munas Partai Golkar di Bali harus rela melepas jabatan Ketua Umum dan menyerahkannya kepada Jusuf Kalla.

Akbar, politisi ulung dan licin yang bebas dari ancaman jerat hukum setelah Mahkamah Agung menerima permohonan kasasinya, diungguli Wiranto dalam Konvensi Nasional Calon Presiden Partai Golkar, Selasa 20 April 2004, melalui dua putaran pemungutan suara. Pada putaran pertama Akbar Tandjung masih mengungguli Wiranto dengan perolehan suara 147-137. Disusul Aburizal Bakrie 118, Surya Paloh 77 dan Prabowo Subianto 39 suara, dengan 28 suara tidak sah dan 1 suara abstein.



Namun pada putaran kedua limpahan suara dari kandidat lain lebih banyak beralih ke Wiranto. Di putaran kedua, ia meraih 227 sedangkan Wiranto 315 suara, dengan abstain 1 dan tidak sah 4 suara.

Setelah melalui masa kecil dan menamatkan Sekolah Rakyat (SR) di Medan, ia pun pindah ke Jakarta. Di kota ini ia menamatkan pendidikan SMP Perguruan Cikini dan SMA Kanisius. Selanjutnya ia memilih kuliah di Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Pergumulannya dengan dunia politik dimulai ketika masih kuliah. Tahun 1966 ia aktif dalam gerakan mahasiswa pada saat pengganyangan G 30 S /PKI melalui Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Universitas Indonesia (KAMI-UI) dan Laskar Ampera Arief Rahman Hakim. Aktivitasnya itu merupakan modal kuat untuk ikut dalam bursa pemilihan ketua senat mahasiswa.



Tahun 1967-1968 terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Tahun 1998 1968 aktif dalam Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Indonesia. Selain itu, ia juga terpilih menjadi Ketua Mapram Universitas Indonesia.

Aktivitasnya tidak hanya dilakukan di dalam kampus. Ia pun terdaftar sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pada tahun 1969-1970 berhasil terpilih sebagai Ketua Umum HMI Cabang Jakarta dan tahun 1972-1974 Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Organisasi mahasiswa ekstrakampus bukan hanya HMI. Untuk menjalin kerja sama dengan organisasi lainnya, pada tahun 1972 ia ikut mendirikan Forum Komunikasi Organisasi Mahasiswa Ekstra Universiter (GMNI, PMKRI, PMII, GMNI, HMI) yang kemudian dikenal dengan nama Kelompok Cipayung.

Kehidupan berorganisasi Akbar Tandjung tidak berhenti sampai di situ. Tahun 1973 ia pun ikut mendirikan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Baru pada tahun 1978-1981 menduduki posisi Ketua Umum DPP KNPI. Sebagai Ketua Umum KNPI, ia juga turut mendirikan Angkatan Muda Pembaruan Indonesia (AMPI) tahun 1978 dan hingga tahun 1980 duduk sebagai Ketua DPP Angkatan Muda Pembaruan Indonesia (AMPI).

Kiprahnya yang cemerlang di organisasi kepemudaan membuat langkahnya semakin lempang dalam menapaki jalur politik. Tak heran jika tahun 1983-1988 ia diberi kepercayaan menduduki posisi Wakil Sekretaris Jenderal DPP Golkar. Seiring perubahan angin politik, Golkar yang begitu dominan pada masa Orde Baru terkena tuntutan perubahan. Golkar yang semula alergi disebut partai akhirnya mendeklarasikan diri sebagai partai menjadi Partai Golkar. Pada tahun 1998 sampai sekarang ia kukuh sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar.

Anggota DPR
Berbeda dengan kebanyakan politikus di Indonesia, Akbar tidak perlu menjadi anggota legislatif dari DPRD II kemudian naik ke DPRD I, setelah itu baru menjadi anggota DPR RI. Track record-nya sebagai aktivis kampus dan Ketua HMI menjadi modal besar baginya untuk langsung menjadi anggota DPR RI dari fraksi Golkar. Sejak tahun 1977 sampai 1988 ia menjadi anggota FKP DPR RI mewakili Propinsi Jawa Timur. Di lembaga perwakilan ini ia sempat mengecap posisi Wakil Sekretaris FKP DPR RI periode 1982-1983.

Tahun 1987-1992 ia dipercaya menduduki Sekretaris FKP-MPR RI sekaligus sebagai anggota Badan Pekerja MPR RI. Setelah Pemilu tahun 1992, kembali ia menjadi anggota DPR/MPR. Untuk periode 1992-1997, ia kembali menduduki jabatan Sekretaris FKP MPR RI.dan sekaligus Anggota Badan Pekerja MPR RI.

Tahun 1997-1998 ia terpilih menjadi Wakil Ketua FKP MPR RI. Tahun 1997-1999 sebagai Wakil Ketua Fraksi FKP MPR RI dan Wakil Ketua PAH II Badan Pekerja MPR RI.

Setelah mengalami gejolak politik tahun 1998, Golkar segera melakukan perubahan internal. Golkar menjadi partai politik yang menggaungkan paradigma baru. Akbar Tanjung pun terpilih sebagai ketua umum. Setelah Pemilu dipercepat menjadi tahun 1999, Akbar terpilih sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI sampai sekarang..

Dalam situasi global yang memungkinkan semakin terbukanya arus komunikasi dan semakin pentingnya kerja sama, maka DPR pun menjalin kerja sama dengan parlemen-parlemen negara sahabat. Sebagai Ketua DPR, Akbar pun dipercaya menjadi President of AIPO (Asean Inter Parliamentary Organization) periode 2002-2003 dan President of PUOICM (Parliamentary Union of OIC Members) periode 2003-2004.

Pembantu Presiden
Kemampuan organisasi dan manajerial semasa aktif di organisasi kemahasiswaan, kepemudaan, maupun di partai politik menarik perhatian Presiden untuk mengangkatnya sebagai menteri. Tercatat beberapa kali Akbar Tandjung memasuki lingkaran dalam pengambil keputusan.

Tahun1988-1993 untuk pertama kalinya ia menjadi menteri dengan jabatan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga, pada Kabinet Pembangunan V. Selanjutnya periode 1993-1998 Suami dari Krisnina Maharani ini dipercaya menjadi Menteri Negara Perumahan Rakyat, Kabinet Pembangunan VI. Pada Kabinet Pembangunan VII yang tidak berumur panjang, Akbar mendapat kepercayaan menjadi Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Pemukiman. Selepas pergantian presiden dari HM Soeharto ke BJ Habibie, ia diangkat menjadi Menteri Sekretaris Negara, Kabinet Reformasi Pembangunan periode 1998-1999.

Pengalaman Internasional
Kesibukan berorganisasi bukanlah halangan untuk menimba ilmu dan memperkuat jaringan internasional. Jika ada kesempatan, mengapa hal itu harus disia-siakan? Maka, pada tahun 1972 ia Mengikuti Asia and Pacific Students Leaders Program-Departement of State USA, selama tiga bulan. Disusul kemudian tahun 1974 mengikuti pertemuan Majelis Pemuda se Dunia (World Assembly of Youth) di Nakhadka, Rusia. Tahun 1988 Memimpin Delegasi Indonesia dalam pertemuan Menteri-Menteri Olah Raga se Dunia di Moskow.

Pada tahun 1990 memimpin delegasi Indonesia dalam Dialog Malaysia Indonesia (Malindo), di Kuala Lumpur. Tahun 1995 mengikuti Seminar Federasi Real Estat Sedunia (FIABCI), di Paris, Perancis. Selanjutnya tahun 1996 mengikuti Kongres Habitat II di Nairobi, Afrika.

Tahun 1998 mengikuti KTT ASEAN di Hanoi. Satu tahun kemudian yaitu pada Oktober 1999 memimpin delegasi untuk mengikuti Sidang International Parliament Union (IPU) di Yordania.

Tahun 2000 Memimpin Delegasi pada Sidang Inter-parliamentary Union (IPU) di Jakarta. Pada tahun yang sama memimpin delegasi pada Sidang AIPO di Singapura.

Tahun 2001 memimpin delegasi pada Konferensi Ketua-Ketua Parlemen Se-Dunia, di NewYork. Masih di tahun yang sama memimpin delegasi pada Sidang AIPO di Thailand. Dan, tahun 2002 memimpin delegasi pada Sidang AIPO di Vietnam.

Penghargaan
Sumbangan dan dharma bakti Akbar Tandjung terhadap bangsa dan negara tidak sia-sia. Pemerintah Republik Indonesia menganugrahkan Penghargaan Bintang MahaputraAdi Pradana tahun 1992 dan Bintang Republik Indonesia tahun 1998.

Yang menarik adalah, kiprah Akbar Tanjung pun mendapat perhatian dari luar negeri. Ia memperoleh Penghargaan Kruis in de Orde van Oranje-Nassau dari Pemerintah Kerajaan Belanda pada tahun 1996.

Menuju RI-1
Kini Akbar Tandjung telah masuk dalam kompetisi bersama waraga negara terbaik negeri ini untuk menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Sebagai calon pemimpin dari 220 juta jiwa penduduk, perlu visi yang kuat agar dapat memajukan bangsa ini dari keterpurukan, terutama agar keluar dari krisis sejak 1997.

Sebagai kandidat presiden, Akbar memiliki pemandangan bahwa saat ini Indonesia masih berada pada masa transisi. Namun menurutnya, mtransisi tidak boleh dibiarkan berjalan terlalu lama. Pemilihan umum 2004 merupakan batas konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 untuk menciptakan kepemimpinan nasional yang baru, yang mampu mengatakan bahwa situasi yang tidak menentu ini harus segera diakhiri. Kewenangan yang ada pada pemilu 2004 diharapkan dapat melahirkan pimpinan nasional yang terampil, yang memiliki agenda yang jelas dan terukur untuk membawa Indonesia kepada situasi yang lebih baik.

Untuk dapat keluar dari krisis, Indonesia memerlukan seorang pemimpin yang mempunyai catatan pengalaman panjang; seorang pemimpin dengan gagasan dan pandangan yang jelas; yang memiliki keterampilan politis dan birokratis yang memadai; yang mampu melakukan koordinasi dan mengkomunikasikan kebijakan-kebijakannya tidak saja kepada elite nasional yang ada, tetapi juga kepada masyarakat banyak.



Akhirnya, Indonesia memerlukan seorang pemimpin yang dapat menciptakan kesepakatan-kesepakatan yang dinegosiasikan. Kemampuan untuk membangun konsensus di antara kekuatan-kekuatan sosial-ekonomi dan politik yang ada merupakan modal tambahan yang amat diperlukan untuk membawa Indonesia ke arah situasi yang lebih baik.

Akbar melihat terdapat beberapa persoalan mendesak yang perlu segera diselesaikan oleh pemerintahan yang akan terbentuk nantinya. Di antara persoalan itu adalah (1) pemulihan ekonomi, yang menurutnya saat ini prosesnya cenderung tidak terstruktur dan tidak sistematis karena dilaksanakan tanpa prioritas yang layak dan dapat dipercaya;



(2) kesejahteraan dan kualitas manusia, yang secara kuantitas laju pemulihan ekonomi sepanjang lima tahun terakhir ini belum mampu menciptakan lapangan kerja dan penghidupan yang layak bagi banyak warga negara;



(3) kedaulatan ekonomi dan kemandirian bangsa yang menurun drastis sejak krisis terjadi; (4) lingkungan hidup dan pertanahan. Menurutnya, persoalan mendesak di bidang lingkungan hidup dan pertanahan adalah menurunnya kualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta buruknya penegakan hukum dan property rightsdi bidang pertanahan;



(5) keamanan dan rasa aman, di mana terjadi kemerosotan sangat besar pada sektor ini; (6) penegakan hukum dan HAM. Masalah ini kemungkinan terjadi karena perangkat hukum yang ada tidak mampu menanggulangi pelanggaran hukum atau pelaku dan institusi yang ada saat ini tidak mampu menjalankan langkah penegakan hukum;



(7) demokrasi, kemandirian daerah, dan integrasi bangsa. Selama lima tahun terakhir perjalanan demokrasi mengalami perkembangan yang menggembirakan, namun sayangnya sering pula muncul kekerasan, konflik sosial, teror, dan persaingan antarelite. Aspirasi dari bawah sering diabaikan atau dijadikan komoditi untuk hal-hal uang tidak produktif atau disintegrasi;



(8) keharmonisan dan kerukunan sosial. Sama seperti masalah lainnya, keharmonisan dan kerukunan sosial pun mengalami kemerosotan; (9) perempuan dan kesetaraan jender. Perempuan Indonesia masih memiliki banyak masalah seperti rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan, tingginya angka kematian ibu dan bayi, juga kekerasan terhadap perempuan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di luar rumah tangga.

Strategi Membangun Indonesia Sejahtera
Peliknya masalah yang dihadapi membuat berbagai masalah itu tidak dapat diselesaikan sekaligus. Untuk itu diperlukan ketajaman untuk memilih hal-hal mana saja yang mendesak diselesaikan. Akbar Tandjung menyebut formula bagi strateginya itu adalah Tri Sukses Pembangunan yang terdiri dari Sukses Pembangunan Ekonomi, Sukses Pembangunan Hukum, dan Sukses Pembangunan Sosial-Kemasyarakatan.

Untuk menyukseskan program itu Akbar secara terbuka mengatakan membutuhkan dukungan dari banyak pihak. Selain itu, dari figur pemimpin sendiri diperlukan kepemimpinan nasional yang terampil, mempunyai pandangan dan agenda kerja yang jelas, yang bersedia menghimpun seluruh kekuatan yang ada, baik pada tingkat masyarakat maupun negara, dan yang paham tantang kondisi objektif yang dihadapi bangsa dan negara.



Hanya orang yang mempunyai visi yang kuat, pengalaman yang teruji, dan yang dapat memenangkan hati rakyatlah yang mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, yakni Indonesia sejahtera. Kepemimpinan nasional yang demikian itu akan lahir dari suatu proses seleksi kepemimpinan yang objektif dan rasional, yakni melalui pemilihan umum yang demokratis, jujur dan adil.

Sebagai seorang yang telah memiliki pengalaman di bidang pemerintahan, legislatif, organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan, serta kini Ketua Umum DPP Partai Golkar, Akbar mengaku merasa terpanggil untuk menjalankan amanat yang mulia itu. Oleh karena itu, ia mengharapkan dukungan dan doa restu dari segenap Keluarga Besar Partai Golkar untuk ikut berkompetisi dalam Konvensi Partai Golkar, dengan harapan dapat terpilih sebagai Calon Presiden RI dari Partai Golkar.

Tak lupa, Akbar meneriakkan slogan andalannya “Mari ‘Maju Bersama, Membangun Indonesia Sejahtera
Read rest of entry

MUHAMMAD JUSUF KALLA




biografi :

Nama : Drs. H. M Jusuf Kalla
Lahir: Watampone, 15 Mei 1942
Agama : Islam
Jabatan Kenegaraan:
= Wakil Presiden RI (2004-2009)
= Menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial Kabinet Gotong Royong (2001-2004)
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kabinet Persatuan Nasional (1999-2000)

Isteri:
Ny. Mufidah Jusuf (Lahir di Sibolga, 12 Februari 1943)
Anak:
1. Muchlisa Jusuf,
2. Muswirah Jusuf,
3. Imelda Jusuf,
4. Solichin Jusuf,
5. Chaerani Jusuf.

Pendidikan :
Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanudin Makasar, 1967
The European Institute of Business Administration Fountainebleu, Prancis (1977)

Pekerjaan
Agustus 2001 - 2004 : Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
1999 - 2000 : Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI
1968 - 2001 : Direktur Utama NV. Hadji Kalla
1969 - 2001 : Direktur Utama PT. Bumi Karsa
1988 - 2001 : Komisaris Utama PT. Bukaka Teknik Utama
1988 - 2001 : Direktur Utama PT. Bumi Sarana Utama
1993 - 2001 : Direktur Utama PT. Kalla Inti Karsa
1995 - 2001 : Komisaris Utama PT. Bukaka Singtel International

Organisasi
2000 - sekarang : Anggota Dewan Penasehat ISEI Pusat
1985 - 1998 : Ketua Umum KADIN Sulawesi Selatan
1994 - sekarang : Ketua Harian Yayasan Islamic Center AI-Markaz
1992 - sekarang : Ketua IKA-UNHAS
1988 - 2001 : Anggota MPR-RI
2004-2009: Ketua Umum DPP Partai Golkar

Alamat Kantor:
Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat

Alamat Rumah:
Jl. Brawijaya Raya No. 6 Jakarta Selatan
wa

nama jusuf kala tidak asing lagi di telinga kita,bahkan kita biasa menyebutnya JK (singkatan namanya dalam unsuk perpolitikan di partai). JK merupakan kader HMI, sifat kepemimpinannya tercermin bahwasannya JK merupakan seorang kader HMI yang patut di perhitungkan, jasa besarnya untuk bangsa Indonesia ini adalah sebagai pemuli ekonomi bangsa, makanya tak ayal dia disebut arsitek pemulihan ekonomi, mungkin pada biografi JK ini kita tidak akan banyak mengetahui kiprahnya di HMI tapi kita menyelusuri jalannya di pemerintahan ataupun parpol yang di ikutinya,

Pengusaha sukses dan kader Golkar ini justru berkibar dalam era reformasi. Dia memang seorang tokoh yang dinilai ‘bersih’ dan dapat diterima semua golongan. Setelah terpilih menjadi Wakil Presiden, dia pun kemudian terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Dalam jabatannya sebagai Wakil Presiden, dia berperan sebagai arsitek pemulihan ekonomi. Sebagai pengusaha sukses dia menunjukkan kemampuan melakukan perubahan dalam memimpin tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu. Kini, ia tampil sebagai Capres berpasangan dengan Wiranto, dengan tagline: Lebih Cepat Lebih Baik dengan Hati Nurani.



Pada Munas Partai Golkar di Bali (19/12/2004), dia ter[ilih menjadi Ketua Umum dengan meraih 323 suara mengalahkan Akbar Tandjung yang hanya meraih 156 suara, tiga suara tidak sah dari 482 suara.



Nama putera kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan ini makin mencuat pada era reformasa tatkala mendapat kesempatan menjabat menteri. Ia pun menjadi tokoh utama perdamaian Malino. Tokoh yang berpenampilan bersahaja ini pun sempat ikut konvensi capres Golkar, sebelum dipinang SBY menjadi pasangan Cawapres.



Peluang tokoh berjiwa kebangsaan ini cukup terbuka menjadi calon presiden. Terutama setelah Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan calon presiden dari Partai Golkar tidak harus ketua umumnya. Tapi terbuka kesempatan bagi semua kader Partai Golkar untuk diseleksi menjadi calon presiden. Segera gayung bersambut. Beberapa nama muncul ke permukaan. Salah satu nama yang paling mencuat adalah Muhammad Jusuf Kalla, kader Golkar yang ketika itu tengah menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Kabinet Gotong-royong.

Pada Prakonvensi Capres Golkar, ia salah seorang kandidat yang lolos mengikuti Konvensi Nasional. Namun sehari sebelum Konvensi Nasional Partai Golkar itu digelar, 20 April 2004, ia secara resmi mengundurkan diri sebagai konstentan, karena ia telah dipinang Capres Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menjadi pasangan Cawapres (calon wakil presiden).



Kemudian, ia pun mengundurkan diri dari jabatan Menko Kesra, karena pencawapresan tersebut. Ia mengucapkan terimakasih kepada Presiden Megawati yang memberinya kepercayaan memegang jabatan itu. Selama menjabat Menko Kesra ia pun melaksanakan tugas dengan baik.



Saat masih menjabat Menko Kesra, anggota Dewan Penasehat ISEI Pusat, ini dalam percakapan dengan wartawan Tokoh Indonesia di ruang kerjanya, Jumat 14 Februari 2003 lalu, menguraikan berbagai pengalaman dan pemikirannya. Ia seorang tokoh yang tidak mau menonjol-nonjolkan diri.

Pada masa pemerintahan Gus Dur, ia dipercaya memimpin Departemen Prindustrian dan Perdagangan. Kendati hanya enam bulan. Ia bersama Meneg BUMN Laksamana Sukardi dipecat dengan alasan yang tidak jelas. Pada mulanya alasan pemecatannya disebut karena tidak bisa bekerjasama dengan tim ekonomi lainnya. Kemudian dalam rapat tertutup dengan DPR, Gus Dur menyebut alasan pemberhentiannya karena KKN. Namun semua tuduhan itu dibantah Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi. Sementara, Gus Dur sendiri tak bisa membuktikannya.

Pemecatan kader Golkar dan kader PDIP ini diyakini banyak pihak sebagai kesalahan politik Gus Dur yang terbesar yang secara langsung berpengaruh pada proses politik yang bermuara pada tergulingnya Gus Dur dari singgasana Presiden.

Dalam bukunya berjudul "Enam Bulan Jadi Menteri" ia kemudian menguraikan pengalamannya. Buku ini menurut pengantar penyusunnya, S. Sinansari Ecip, tidak hanya sebagai dokumentasi, tetapi juga sebagai pertanggungjawaban seorang pejabat tinggi kepada masyarakat.

Dalam buku ini, ia antara lain berkisah tentang dana Yanatera Bulog sebesar Rp 435 milyar. Pembicaraan tentang dana ini pada mulanya terkuak dari adanya keinginan Gus Dur untuk menyelesaikan masalah Aceh dengan memberi bantuan kemanusiaan.

Menurutnya, ada dua konsep pembukuan dana ini. Pertama, masuk anggaran biasa atau masuk neraca Bulog. Kedua, tetap sebagai dana taktis yang bisa dikeluarkan Kabulog atas persetujuan presiden.

Gus Dur ingin memanfaatkan dana itu. Tapi Jusuf Kalla yang merangkap tugas Kabulog meminta surat tertulis dari presiden. Akhirnya dana itu tak jadi dikeluarkan. Namun, kemudian tanpa pengetahuannya, dana itu dikeluarkan oleh Waka Bulog Sapuan sebesar Rp 35 milyar kepada Suwondo yang mengaku sebagai penasehat spritual presiden. Kasus ini kemudian dikenal dengan sebutan Buloggate.

DPR yang sudah sering "tersinggung" oleh beberapa ucapan dan keputusan Gus Dur, akhirnya membentuk Pansus Buloggate, yang melahirkan Memorandum I dan II dan bermuara pada Sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban presiden. Gus Dur menolak bahkan mengeluarkan dekrit pembubaran DPR dan MPR. Tapi dekrit itu ditolak bahkan SI MPR dipercepat memecat Gus Dur dari jabatan presiden.

Setelah Megawati Sukarnoputri naik tahta menjadi Presiden menggantikan Gus Dur, ia dipercaya kembali duduk di jajaran kabinet sebagai Menko Kesra periode 2001-2004.

Kiprahnya dalam menjalankan tugas sebagai Menko Kesra terbilang menonjol. Dia sukses meletakkan kerangka perdamaian di daerah konflik Poso dan Ambon. Lewat pertemuan Malino I, dia berhasil meredakan konflik di Poso. Kemudian, dia pun memprakarsai pertemuan Malino II. Dalam pertemuan ini, dia bisa mengajak kelompok Islam dan Kristen yang bertikai di Ambon untuk menghentikan pertikaian.

Mungkin, sebagaimana ditulis TEMPO, Muhammad Jusuf Kalla ini dilahirkan untuk bergelut dengan krisis. Sebab ketika masih berusia 25 tahun, putera Bone yang sepenuhnya setuju dengan pendapat para tetua di daerahnya, ini sudah harus memegang kendali bisnis ayahnya yang sedang menurun. Dan ia berhasil. Tangan dinginnya mampu menyingkirkan berbagai kesulitan dan menyelamatkan bisnis keluarganya. Lalu, pada usia bekepala enam, tangannya masih bertuah mengantarkan perdamaian di Poso dan Ambon.

Dengan merendah, ia mengatakan upayanya dalam perjanjian Malino adalah bahagian dari tugas sebagai seorang menteri, pembantu presiden, mengatasi masalah konflik dan kesejahteraan rakyat. Ia melihat konflik dan perselisihan akan menyebabkan kemiskinan, baik dalam bentuk materi ataupun nonmateri. Sehingga, kepada mereka yang bertikai, harus diberikan kesadaran untuk menghentikan konflik dengan cara damai bukan melalui perang.

“Karena mereka yang berselisih ini memandang dari sudut agama, jadi kita memberikan kesadaran dari sisi agama juga. Karena semua agama, menurut saya, melarang membunuh tanpa alasan yang jelas,” ujar Ketua IKA-UNHAS (Ikatan Alumni Universitas Hasanuddin) ini.

Kendati ia yakin bahwa konflik di Maluku bukanlah konflik agama, tapi awalnya dipicu oleh persoalan ekonomi. Bahwa akhirnya tampak sentimen agamanya yang dominan, menurutnya, itu karena orang tidak menelisiknya dari awal. Penyebab utamanya adalah gara-gara kelompok Kristen menjadi miskin karena harga cengkeh anjlok. Sementara orang-orang Islam di sana nasibnya lebih beruntung. Ia yakin atas kebenaran pendapatnya, karena memang ia cukup mengenal daerah yang berkonflik itu.

Di tengah konflik yang tajam waktu itu, ia berupaya memahami cara berpikir yang sederhana orang Islam dan Kristen di daerah itu. Mereka berpikir bahwa dengan semakin banyak membunuh semakin cepat masuk surga. Lalu ia berupaya secara ikhlas memberikan pengertian bahwa apa yang mereka lakukan baik itu kepada orang Islam maupun Kristen sebenarnya semakin membawa mereka masuk neraka. “Saya katakan demikian dengan nada yang keras bagi kedua kelompok,” kata nahdliyin yang menjabat Ketua Harian Yayasan Islamic Center AI-Markaz ini.

Ia merasa yakin kalau berani terjun langsung, berbicara dengan masyarakat bawah, persoalan apa saja dapat ditemukan jawabannya. Dengan keyakinan itu, ia bisa membujuk dua kelompok yang bermusuhan di Ambon untuk duduk dalam satu meja di Kota Malino, Sulawesi Selatan, Februari 2002. Walaupun, ikrar perdamaian itu sempat ternoda oleh sekelompok orang yang belum mepunyai kesadaran damai. Pada awal April 2002, terjadi kerusuhan yang membuat kompleks Kantor Gubernur Maluku luluh-lantak. Tak lama kemudian, meledak kerusuhan berdarah di Soya. Ambon pun sempat kembali tegang. Namun kesadaran masyarakat yang menginginkan damai sudah tumbuh. Sehingga kerusuhan itu tidak membuat mereka terpancing untuk bertikai lagi.

Ketika itu, sempat berkembang dugaan adanya upaya pihak tertentu untuk menggeser lagi penyelesaian konfflik di daerah itu dari perundingan ke penanganan secara militer. Bola solusi yang semula digiring oleh Menko Kesra diupayakan berpindah ke Menko Polkam. Apalagi ketika itu, Mayjen TNI Djoko Santoso diangkat menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Pangkoopslihkam) Maluku.

Tapi ia membantah terjadi perebutan bola solusi atau tumpang tindih dalam penanganan masalah Ambon dan Poso. Menurutnya, mereka menjalankan tugas saling melengkapi sesuai fungsi masing-masing. “Saya dan Menko Polkam, saling mendukung untuk dapat menyelesaikan tugas yang diberikan negara melalui presiden, baik itu di Poso, Ambon atau di Aceh. Untuk bagian Poso dan Ambon saya yang memimpin sedangkan untuk bagian Aceh Menko Polkam yang memimpin. Jadi kami saling bekerjasama,” katanya.

Ketika konflik antarmasyarakat sudah berhenti, perlu segera dilakukan penegakan hukum lewat penyerahan senjata, penindakan, penangkapan, penanganan desersi dan sebagainya. Hal ini adalah urusan tentara dan polisi di bawah koordinasi Menko Polkam. “Tapi soal rehabilitasi, soal pengungsi, dan sebagainya, saya yang menangani. Sedangkan Wakil Presiden mengevaluasi secara keseluruhan. Jadi, semuanya bekerja berdasar fungsi masing-masing,” kata putera bangsa kelahiran Watampone, Bone, 15 Mei 1942 ini.

Ia mengaku tidak merasa mengalami tantangan yang berarti dalam menangani konflik itu. Kiatnya adalah keikhlasan hati dan keberanian untuk memasuki pokok persoalan. Keikhlasan hati itu ditunjukkan dan dikomunikasikan. Kemudian, persoalan harus dipahami. Lalu, ada keberanian untuk menyikapi dan menentukan mana yang salah dan yang benar.

Memang, dalam menangani konflik Poso dan Ambon, ia berani mempersalahkan kedua belah pihak. Ia tidak hanya memuji dan membujuk mereka yang bertikai. Bahkan, “saya marah kepada keduabelah pihak itu,” katanya tulus.

Mengenai keyakinannya bahwa konflik Ambon bukan dipicu oleh urusan agama melainkan urusan ekonomi, ia mengatakan, sebanyak 75 persen konflik di dunia ini gara-gara masalah ketidakadilan dan kemiskinan. Itulah sebabnya sebagian besar konflik terjadi di negara-negara yang tingkat pendapatan per kapitanya rendah, seperti Malaysia, Filipina, India, atau Sri Lanka.

“Di Ambon juga begitu. Semua tak lepas dari pemiskinan yang terjadi di sana. Pada awal 1990-an, harga cengkeh di sana bisa Rp 10 ribu per kilogram. Tapi, setelah ada monopoli Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), harganya malah anjlok hingga tinggal Rp 2.000 per kilogram. Orang Ambon pun marah, lalu membabati tanaman cengkehnya. Akhirnya, mereka jatuh miskin dan banyak menganggur. Sebanyak 75 persen tanaman cengkeh berada di kampung- kampung Kristen,” jelasnya.

Sementara, katanya, para pendatang muslim dari Sulawesi Selatan dan Tenggara justru nasibnya makin bagus. “Mereka menguasai pasar, transportasi, angkutan kota, perdagangan antarpulau, dan sebagainya.. Bahkan warga muslim juga menguasai struktur pemerintahan. Sebelumnya Gubenur Maluku selalu beragama Kristen, tapi belakangan menjadi yang beragama Islam.

Dengan kondisi seperti itu, menurutnya, masalah sepele saja bisa menjadi pemicu konflik. “Kasus Ambon kan dimulai dari konflik sopir dengan pemalak atau orang menagih setoran. Tapi, dalam satu-dua hari telah berubah menjadi konflik agama yang susah berakhir. Malah belakangan datang Laskar Jihad dari kelompok Islam. Lalu muncul pula Front Kedaulatan Maluku dari kelompok Kristen. Keadaan tegang ini terus berlangsung hingga kita berhasil menghentikan konflik dan meneken kesepakatan Malino II.”

Mengenai bidang tugasnya sebagai Menko Kesra. Sesaat setelah dilantik 19 Juli 2001, ia mengatakan tujuan kita berbangsa dan bernegara ialah kesejahteraan rakyat (kesra). Akan tetapi, katanya, janganlah selalu memaknakan kesra itu dalam konteks bencana: gempa bumi, longsor, banjir dan gelombang pengungsian. Kesra yang dia maksudkan, jauh lebih luas dari itu, yakni membangun cita-cita berbangsa yang bermuara kepada kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.

Dia juga menekankan masalah kebersihan aparat, di lingkungan kerja Menteri Koordinator Kesra. “Aparat yang korup, mengomersialkan jabatan, KKN, atau melakukan tindak kejahatan lainnya, tidak akan saya tolerir. Saya pun akan mengajak aparat menciptakan suasana kondusif, misalnya dengan meningkatkan solidaritas pada golongan ekonomi lemah. Solidaritas itu, misalnya, bisa berupa mengurangi kebutuhan sekunder dan tersier,” janji menteri yang berlatarbelakang pengusaha sukses ini.

Menurutnya, sangat tidak bijak mendorong aparat terjebak dalam kebutuhan selera tinggi. Pokoknya, tingkat luxuries harus dikurangi, agar ada semacam solidaritas bangsa. Bagi kalangan berkemampuan ekonomi tinggi dan mempunyai uang lebih, silakan menikmati hidup ekstra nyaman. Akan tetapi, mungkin ada baiknya tidak terlampau ditonjol-tonjolkan agar tidak menampakkan perbedaan mencolok. Kini terdapat hampir 9 juta penganguran terbuka dan 40 juta yang setengah menganggur. Di jalan-jalan raya di banyak kota, tampak sangat banyak pengemis, gelandangan, anak-anak telantar, anak-anak yatim dan sebagainya.

Keprihatinan hidup sebagaian besar rakyat bangsa ini sangat dirasakannya. Maka ia pun menolak kemewahan di kantornya. Di ruang tunggu kantornya (Menko Kesra) hanya tersedia kursi lipat yang dijejer melingkar di ruang sederhana. Kursi tamu dalam kamar kerjanya juga sederhana.

Ketika menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan, ia memilih lebih pas bekerja sepenuhnya di salah satu kantornya yang lebih sederhana. Ketika itu, ia punya tiga kantor. Selaku menteri perindustrian ada kantor di Jalan Gatot Subroto. Selaku menteri perdagangan di Jalan Ridwan Rais, Menteng dan selaku Kabulog di Jalan Gatot Subroto.

Dua kantor itu dinilainya terlalu mewah. Satu di antaranya luasnya sekitar 200 m2. Ada ruang rapat khusus, bahkan ada tiga ruang rapat, tiga televisi, ada dapur, musala, kamar tidur dan kamar mandi dua. Dalam kondisi ekonomi negara yang hancur dan pinjaman menumpuk, rasanya tak pantas bermewah-mewah. Itulah yang timbul dalam benaknya. Maka ia pun memilih berkantor di Perindustrian yang luasnya sekitar 50 m2 dengan perabot yang sudah lama.

Ketika mempimpin perusahaannya, ia juga tidak mau bermewah-mewah. Ruang kerjanya sederhana, baik yang di Jakarta maupun di Makassar. Gaya hidup sederhana ini, ia tunjukkan pula dalam busana yang dipakai. Ia sangat jarang pakai stelan jas. Bahkan pakai safari dinas menteri juga jarang. Ia lebih sering memakai batik atau kemeja lengan panjang.

Padahal sebagai seorang pengusaha, tergolong konglomerat, ia sanggup saja hidup mewah. Tapi, itu tidak dilakukannya. Dari segi pendapatan (gaji), sesungguhnya ia 'nombok' sebagai menteri. Sama sekali ia tidak mengharapkan kekayaan dari jabatannya. Bahkan setiap bulan ia meminta prusahaannya menyediakan dana untuk berbagai keperluan yang secara langsung atau tidak langsung menunjang pekerjaannya sebagai pejabat publik.

Menteri yang juga dikenal sebagai kader Golkar yang cukup berpengaruh di Indonesia Bagian Timur, terutama di Sulawesi Selatan, ini sangat peduli atas percepatan pembangunan di kawasan timur itu. Hal ini tercermin dalam buku tentangnya berjudul: "Mari ke Timur!" (Penerbit PT Toko Gunung Agung, Jakarta, 2000). Buku itu berisi pikiran-pikirannya tentang Indonesia Timur.

Namun, bukan berarti ia hanya berpikir tentang kawasan Indonesia bagian Timur. Melainkan hal itu menunjukkan kepeduliannya untuk membangun seluruh negeri secara adil dan merata.

Secara politik ia juga dikenal tidak hanya bisa berkomunikasi dengan teman-teman separtainya. Ia bisa diterima di berbagai kelompok kepentingan. Ia bukan politisi sektarian. Ia seorang pengusaha dan politisi negarawan.

Namun, ia pernah juga diisukan aktip dalam diskusi pembentukan kaukus Islam. “Ini perlu diluruskan. Pertemuan itu bukanlah kaukus. Kami cuma berdiskusi agar tokoh-tokoh Islam dapat memahami berbagai masalah secara fair dan mendalam. Pers yang sibuk sendiri, menafsirkan terlalu jauh, sama dengan isu darurat militer di Ambon. Padahal, kami tak merasa membicarakan itu,” kata tokoh berlatarbelakang pengurus masjid, HMI, KAHMI dan ICMI ini.

Menurutnya, pertemuan-pertemuan yang sempat ditenggarai hendak menggulingkan Megawarti itu, betul- betul itu hanya diskusi untuk mencari solusi. “Di situ saya malah mengatakan bahwa kita tak usah bicara mengenai umat Islam, tapi bicara tentang bangsa. Kalau bicara tentang bangsa, itu sudah menyangkut 85 persen umat Islam. Kalau bangsa ini sehat dan kuat, Islam pun kuat. Jadi, yang dibutuhkan ummat adalah pemerintahan yang kuat. Pemerintah itu boleh siapa saja: boleh nasionalis, Islam, atau yang lain, terserah,” jelasnya.

Ia memang dikenal sebagai seorang anak bangsa, penganut agama Islam, yang berjiwa kebangsaan. Itulah sebabnya ia bisa dengan berani berbicara dengan kelompok-kelompok bertikai di Poso dan Ambon. Ia tidak berpihak kepada salah satu kelompok. Keikhlasan dan kejujurannya sudah dikenal oleh masyarakat setempat. Ia orang yang biasa menghargai orang lain, termasuk orang yang berbeda pandangan dan keyakinan dengannya.

Dari kecil ia memang sudah diasuh orang tuanya untuk hidup jujur dan menghargai orang lain. “Prinsip yang ditanamkan oleh orangtua saya sebenarnya sangat sederhana, yaitu menjadi orang yang bekerja sebaik-baiknya (bekerja keras), jujur dan menghormati orang lain. Salah satu dari sikap jujur itu adalah tidak menjadi orang yang melupakan janji atau mencederai janji.

Ayahnya, H Kalla, seorang pengusaha. Usaha yang dirintis orang tuanya ini kemudian berkembang di tangan generasi keduanya yang dinakhodai Jusuf Kalla. Lulusan S1 Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanudin Makasar, 1967, ini dari sejak usia muda memang sudah sering diikutsertakan dalam usaha, membantu orangtua. Sehingga ia dapat mengerti persoalan dalam dunia usaha.

Dalam dunia usaha, ia telah dididik untuk menjadi orang yang ulet, jujur, memperhatikan langganan, mempunyai visi ke depan dalam menjalankan usaha bersama karyawan-karyawan yang lain. Itulah yang mengantarkannya mampu mengendalikan sejumlah perusahaan di antaranya sebagai Direktur Utama NV. Hadji Kalla, PT Bumi Karsa, PT. Bumi Sarana Utama, PT. Kalla Inti Karsa dan Komisaris Utama PT. Bukaka Singtel International dan PT. Bukaka Teknik Utama sampai tahun 2001 sebelum ia menjadi menteri
Read rest of entry

NURKHOLIS MAJID



Biografi Umum :
Nama: Nurcholis Madjid
Lahir: Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939
Meninggal: Jakarta, 29 Agustus 2005

Pendidikan
Institute Agama Islam Negeri (IAIN), syarif hassuyatullah, Jakarta, 1968 (Doktorandus, Sastra Arab)
The University of Chicago (Universitas Chicago), Chicago, Illinois, USA, 1984 (Ph.D, Studi Agama Islam)
Bidang yang diminati
Filsafah dan Pemikiran Islam, Reformasi Islam, Kebudayaan Islam, Politik dan Agama
Sosiologi Agama, Politik negara-negara berkembang
Pekerjaan
Peneliti, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta 1978-1984
Peneliti Senior, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 1984-sekarang
Dosen, Fakultas Pasca Sarjana, Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Syaruf Hadayatullah, Jakarta 1985-sekarang
Rektor, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta, 1998 – Sekarang

Alalat Rumah Keluarga:
Jalan Johari I No.8, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.


Nurcholis Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur, besar di HMI Ciputat dengan komisariat fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beliau itu merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia cendekiawan muslim milik bangsa. Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.



Namanya sempat mencuat sebagai salah seorang kandidat calon presiden Pemilu 2004. Namun akhirnya ia mengundurkan diri proses pencalonan melalui Konvensi Partai Golkar. Belakangan dia sakit dan sempat beberapa lama dirawat di Singapura.

Cak Nur lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiya.

Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api. Namun, setelah dewasa malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain, menjadi pengemudi lokomotif yang membawa gerbong bangsa.

Sebenarnya menjadi masinis lokomotif politik adalah pilihan yang lebih masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi. Sahabat Cak Nur, Utomo Dananjaya, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina mengatakan, “Dengan nuansa politik pada waktu itu, keluarga Cak Nur biasa mengobrol, mendengar, bicara soal-soal politik.”

Utomo kerap dituding sebagai salah seorang “kompor” yang mendorong Nurcholish ke pentas politik. Atas tudingan itu ia berseloroh, “Ah tidak, politik sudah ada dalam pemikiran Cak Nur sejak pemilu tahun 1955. Generasi saya dan dia sudah cukup dewasa untuk memahami, membaca, dan melihat politik.”

Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang sangat aktif dalam urusan pemilu. Apalagi orang tua santri Kulliyatul Mualimin al-Islamiyah Pesantren Darus Salam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, itu adalah kiai, tokoh masyarakat, sekaligus pemimpin Masyumi. “Mengobrol dalam keluarga tentu termasuk juga soal politik. Hanya, Cak Nur itu kan yang menonjol pemikirannya, bukan sikap politiknya,” kata Utomo, yang akrab dipanggil Mas Tom.

Politik praktis mulai dikenal Nurcholish saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Saat menjadi kandidat ketua umum, kemampuan Nurcholish sudah cukup komplet. Pikirannya, ngajinya, menjadi imam, khotbah, ceramah agama, bagus semua. “Orang-orang HMI waktu itu terpukau oleh pikiran-pikiran Cak Nur,” kata Utomo menirukan kekaguman Eky Syahrudin Duta Besar Indonesia untuk Kanada itu.

Kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. Modernisme dilihat Cak Nur sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi.

Pemikiran Nurcholish tersebar melalui berbagai tulisannya yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga Nurcholish digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”. “Gelar Natsir muda itu bukan karena dia pintar agama, melainkan karena pemikiran-pemikirannya. Saat itu hampir semua orang bilang begitu,” ujar Utomo, yang mengaku kenal Nurcholish sejak tahun 1960-an, yaitu saat Tom menjadi Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Nurcholish Ketua Umum HMI.

Pemikiran Nurcholish yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Nurcholish ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam. Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. Pada waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan.

Karena gagasannya ini, tuduhan negatif datang ke arah Nurcholish, mulai dari pemikir aktivis gerakan Islam sampai peneliti asing. Di dalam negeri, pemikiran Nurcholish ditentang tokoh Masyumi, Profesor H.M. Rasjidi. Sedangkan dari negeri jiran, Malaysia, ia dicerca oleh Muhammad Kamal Hassan, penulis disertasi yang kemudian diterbitkan dengan judul Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia. Hassan menuding Nurcholish sebagai anggota Operasi Khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo. Tudingan ini dibantah Utomo, yang kenal betul pribadi Nurcholish. “Tuduhan itu tidak berdasar, karena kami saat itu benar-benar bersama-sama. Itu fitnah, dan Kamal Hassan tak pernah bertemu kami untuk mengkonfirmasi sumbernya itu,” ujar Tom.

Kejutan berikut datang lagi pada Pemilu 1977, dalam pertemuan di kantor Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), saat para aktivisnya sedang cenderung memilih Golkar sebagai kendaraan politik. Nurcholish satu-satunya tokoh yang meminta agar mahasiswa tidak memilih Golkar. “Sebab, waktu itu, menurut Cak Nur, Golkar sudah memiliki segalanya, militer, birokrasi, dan uang,” kata Utomo. Maka, dalam kampanye Partai Persatuan Pembangunan (P3), Nurcholish mengemukakan teori “memompa ban kempes”, yaitu pemikiran agar mahasiswa memilih partai saja ketimbang Golkar. “Cak Nur percaya pada check and balances, mengajak mahasiswa agar tidak memilih Golkar, dan dia tak masuk Golkar. Ada pengaruh atau tidak? Nyatanya, di Jakarta PPP menang. Dengan tema demokrasinya itu, orang menjadi lebih berani, sehingga Golkar di Jakarta terus-terusan kalah,” ujar Mas Tom.

Pemikiran politik Nurcholish semakin memasuki ranah filsafat setelah ia kuliah di Universitas Chicago, di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk meraih gelar doktor dalam bidang filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan segitiga yang seru dengan Amien Rais dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah tulisan Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, “Tidak Ada Negara Islam”, yang menggulirkan kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika dan Roem di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara qoth’i (jelas) untuk membentuk negara Islam. Surat-surat pribadi itu ternyata tak hanya dibaca Roem, tetapi juga menyebar ke tokoh lain, misalnya Ridwan Saidi dan Tom sendiri.

Barangkali itu sebabnya, ketika Nurcholish pulang dari Amerika pada tahun 1984, setelah meraih gelar Ph.D, lebih dari 100 orang menyambutnya di Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Mereka antara lain Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, A.M. Fatwa, dan para tokoh lainnya. “Cak Nur saya kira istimewa. Ketika pulang dari AS, ternyata banyak sekali orang yang menyambutnya. Saya tidak pernah melihat seseorang yang selesai sekolah disambut seperti itu,” kata Mas Tom kagum.

Di kalangan alumni HMI, Nurcholish sangat berpengaruh. Misalnya, saat Korps Alumni HMI (KAHMI) akhirnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan harus menemui Presiden Soeharto di Istana, Nurcholish “diculik” kawan-kawan HMI-nya untuk menghadap Presiden. “Karena ada orang yang berusaha tidak mengikutkannya. Tapi ada yang menyatakan dia harus ikut. Sebab, kalau Cak Nur datang, pertemuan menjadi cukup kuat,” kata Mas Tom yang ahli pendidikan itu.

Pertemuan Nurcholish dengan Soeharto terakhir, pada Mei 1998, menunjukkan besarnya pengaruh Cak Nur. Saat itu Nurcholish berbicara langsung kepada Soeharto memintanya mundur.

Kata Mereka Tentang Cak Nur
Namun, kritik terhadap seseorang selalu ada. Demikian pula halnya terhadap Cak Nur. Penentang lama Nurcholish, Daud Rasyid, meragukan kemampuan Cak Nur. Menurut Daud, pengalaman Cak Nur terjun ke kancah politik belum ada. “Cak Nur cukup dekat dengan pemerintah Orde Baru, sering memanfaatkan situasi, dan mengikuti arah politik pada saat itu,” katanya. Nah, tipe pemimpin seperti itu, menurut Daud, susah diharapkan membawa bangsa yang besar. “Pemimpin yang dikenal tegar saja menghadapi sebuah rezim kadang-kadang tak kuat,” ujar Daud. Rupanya, Daud tak menyimak sepuluh butir pernyataan yang menjadi platform Cak Nur. Salah satu butirnya menyebutkan perlunya dilakukan rekonsiliasi nasional. Dan hanya dengan cara ini bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa besar.

Kritik lain datang dari melalui buku Pluralisme Borjuis (Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur) yang ditulis Nur Khalik Ridwan. Ridwan melakukan kajian kritis atas gagasan pluralisme Cak Nur. Peneliti alumni IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ini menganggap pemikiran Cak Nur, kendati memiliki tingkat liberalisasi tinggi, serta didukung penguasaan khazanah Islam klasik dan modern, telah menjadi semacam rezim kebenaran atau hegemoni intelektual bercorak logosentris. Pribadinya cenderung dikultuskan, dan gagasannya "disakralkan".

Dalam resensi yang ditulis J. Sumardianta, Pustakawan, tinggal di Yogyakarta mencatat pluralisme Cak Nur inilah yang dikaji Khalik dengan perspektif lain.

Berdasarkan hasil lacakan atas genealogi keluarga dan komunitas sosialnya, Khalik menyebut Cak Nur berasal dari lingkaran Islam borjuis. Tipologi Islam borjuis digunakan Khalik untuk mengidentifikasi kelas mengengah atas muslim perkotaan yang secara ekonomi mapan, ideologinya condong ke Masyumi-HMI, dan cenderung mengusung simbol-simbol Islam formal. Menurut Khalik, pluralisme Cak Nur, yang bertumpu pada gagasan Islam agama universal, tetap berputar di orbit komunal partikular karena masih melihat kebenaran agama lain dengan perspektif agama sendiri.

Dalam konteks ahlulkitab, Cak Nur hanya terpaku pada agama formal dan mengesampingkan "paham-paham keagamaan" masyarakat adat yang terkesan primitif namun kaya kearifan. Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi (menghindarkan umat dari kecenderungan mengukhrawikan persoalan duniawi tanpa kecuali gagasan negara Islam) dan modernisasi (menganjurkan umat berpikir rasional dengan mendukung pembangunan) dinilai Khalik sebagai strategi buat mengelabui rezim otoritarian Orde Baru. Agar komunitas Islam borjuis tidak terus-menerus larut dalam trauma kepahitan politik dibubarkannya Masyumi.

Ide “Islam yes, partai Islam no”, yang diintroduksi Cak Nur saat Soeharto mengebiri partai berbasis agama dan ideologi pada awal 1970-an, dinilai Khalik sebagai strategi neo-Masyumi untuk bersimbiosis dengan kepentingan rezim, agar mereka tidak lagi dituduh mengusung formalisme Islam ke arena politik. Dan, agar Soeharto memandang pewaris Masyumi menyantuni Islam substantif. Tak mengheran bila mereka banyak yang jadi petinggi Golkar dan terserap ke birokrasi pemerintahan.

Pluralisme Cak Nur, di mata Khalik, tidak memiliki sensitivitas pembebasan bagi kaum buruh, petani miskin di pedesaan, penghuni kampung kumuh, gelandangan, dan "sampah masyarakat" perkotaan lainnya yang rentan ketidakadilan sekaligus pengambinghitaman. Konsepsi Cak Nur tentang Islam sebagai agama keadilan, agama kemanusiaan, dan agama peradaban hanya bisa diakses kaum profesional dan eksekutif muda bergelimang duit, namun kerontang spiritual, melalui berbagai kursus filsafat keagamaan yang diselenggarakan Paramadina di hotel-hotel berbintang. Tak mengherankan pula bila Khalik menyebut kinerja Cak Nur sebagai pluralisme borjuis.

Sayang, kerangka sosiologi pengetahuan John B. Thompson, dalam Studies in the Theory of Ideology (1985), kurang didayagunakan Khalik untuk mempertajam hasil analisis. Kendati disajikan dengan langgam subjektivitas yang meledak-ledak, buku ini tergolong karya teologi pembebasan tahap keempat. Refleksinya sudah menggunakan metode analisis nonmarxis, berangkat bukan dari dogmatisme agama, melainkan keprihatinan iman wong kesrakat, dan menyantuni heterogenitas agama dalam perjumpaannya dengan Islam.

sumber:tokohindonesia.com
Read rest of entry
 

About Me

Foto saya
SALAM HANGAT UNTUK PARA PENGIBAR PANJI PANJI HIJAU HITAM DALAM MEWUJUDKAN CITA CITA BANGSA DENGAN PENGHAYATAN YAKIN USAHA SAMPAI UNTUK SELALU BERSYUKUR DAN IKHLAS DALAM MENCAPAI PUNCAK PERJUANGAN

Term of Use