biografi :
Nama : Drs. H. M Jusuf Kalla
Lahir: Watampone, 15 Mei 1942
Agama : Islam
Jabatan Kenegaraan:
= Wakil Presiden RI (2004-2009)
= Menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial Kabinet Gotong Royong (2001-2004)
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kabinet Persatuan Nasional (1999-2000)
Isteri:
Ny. Mufidah Jusuf (Lahir di Sibolga, 12 Februari 1943)
Anak:
1. Muchlisa Jusuf,
2. Muswirah Jusuf,
3. Imelda Jusuf,
4. Solichin Jusuf,
5. Chaerani Jusuf.
Pendidikan :
Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanudin Makasar, 1967
The European Institute of Business Administration Fountainebleu, Prancis (1977)
Pekerjaan
Agustus 2001 - 2004 : Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
1999 - 2000 : Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI
1968 - 2001 : Direktur Utama NV. Hadji Kalla
1969 - 2001 : Direktur Utama PT. Bumi Karsa
1988 - 2001 : Komisaris Utama PT. Bukaka Teknik Utama
1988 - 2001 : Direktur Utama PT. Bumi Sarana Utama
1993 - 2001 : Direktur Utama PT. Kalla Inti Karsa
1995 - 2001 : Komisaris Utama PT. Bukaka Singtel International
Organisasi
2000 - sekarang : Anggota Dewan Penasehat ISEI Pusat
1985 - 1998 : Ketua Umum KADIN Sulawesi Selatan
1994 - sekarang : Ketua Harian Yayasan Islamic Center AI-Markaz
1992 - sekarang : Ketua IKA-UNHAS
1988 - 2001 : Anggota MPR-RI
2004-2009: Ketua Umum DPP Partai Golkar
Alamat Kantor:
Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat
Alamat Rumah:
Jl. Brawijaya Raya No. 6 Jakarta Selatan
wa
nama jusuf kala tidak asing lagi di telinga kita,bahkan kita biasa menyebutnya JK (singkatan namanya dalam unsuk perpolitikan di partai). JK merupakan kader HMI, sifat kepemimpinannya tercermin bahwasannya JK merupakan seorang kader HMI yang patut di perhitungkan, jasa besarnya untuk bangsa Indonesia ini adalah sebagai pemuli ekonomi bangsa, makanya tak ayal dia disebut arsitek pemulihan ekonomi, mungkin pada biografi JK ini kita tidak akan banyak mengetahui kiprahnya di HMI tapi kita menyelusuri jalannya di pemerintahan ataupun parpol yang di ikutinya,
Pengusaha sukses dan kader Golkar ini justru berkibar dalam era reformasi. Dia memang seorang tokoh yang dinilai ‘bersih’ dan dapat diterima semua golongan. Setelah terpilih menjadi Wakil Presiden, dia pun kemudian terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Dalam jabatannya sebagai Wakil Presiden, dia berperan sebagai arsitek pemulihan ekonomi. Sebagai pengusaha sukses dia menunjukkan kemampuan melakukan perubahan dalam memimpin tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu. Kini, ia tampil sebagai Capres berpasangan dengan Wiranto, dengan tagline: Lebih Cepat Lebih Baik dengan Hati Nurani.
Pada Munas Partai Golkar di Bali (19/12/2004), dia ter[ilih menjadi Ketua Umum dengan meraih 323 suara mengalahkan Akbar Tandjung yang hanya meraih 156 suara, tiga suara tidak sah dari 482 suara.
Nama putera kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan ini makin mencuat pada era reformasa tatkala mendapat kesempatan menjabat menteri. Ia pun menjadi tokoh utama perdamaian Malino. Tokoh yang berpenampilan bersahaja ini pun sempat ikut konvensi capres Golkar, sebelum dipinang SBY menjadi pasangan Cawapres.
Peluang tokoh berjiwa kebangsaan ini cukup terbuka menjadi calon presiden. Terutama setelah Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan calon presiden dari Partai Golkar tidak harus ketua umumnya. Tapi terbuka kesempatan bagi semua kader Partai Golkar untuk diseleksi menjadi calon presiden. Segera gayung bersambut. Beberapa nama muncul ke permukaan. Salah satu nama yang paling mencuat adalah Muhammad Jusuf Kalla, kader Golkar yang ketika itu tengah menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Kabinet Gotong-royong.
Pada Prakonvensi Capres Golkar, ia salah seorang kandidat yang lolos mengikuti Konvensi Nasional. Namun sehari sebelum Konvensi Nasional Partai Golkar itu digelar, 20 April 2004, ia secara resmi mengundurkan diri sebagai konstentan, karena ia telah dipinang Capres Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menjadi pasangan Cawapres (calon wakil presiden).
Kemudian, ia pun mengundurkan diri dari jabatan Menko Kesra, karena pencawapresan tersebut. Ia mengucapkan terimakasih kepada Presiden Megawati yang memberinya kepercayaan memegang jabatan itu. Selama menjabat Menko Kesra ia pun melaksanakan tugas dengan baik.
Saat masih menjabat Menko Kesra, anggota Dewan Penasehat ISEI Pusat, ini dalam percakapan dengan wartawan Tokoh Indonesia di ruang kerjanya, Jumat 14 Februari 2003 lalu, menguraikan berbagai pengalaman dan pemikirannya. Ia seorang tokoh yang tidak mau menonjol-nonjolkan diri.
Pada masa pemerintahan Gus Dur, ia dipercaya memimpin Departemen Prindustrian dan Perdagangan. Kendati hanya enam bulan. Ia bersama Meneg BUMN Laksamana Sukardi dipecat dengan alasan yang tidak jelas. Pada mulanya alasan pemecatannya disebut karena tidak bisa bekerjasama dengan tim ekonomi lainnya. Kemudian dalam rapat tertutup dengan DPR, Gus Dur menyebut alasan pemberhentiannya karena KKN. Namun semua tuduhan itu dibantah Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi. Sementara, Gus Dur sendiri tak bisa membuktikannya.
Pemecatan kader Golkar dan kader PDIP ini diyakini banyak pihak sebagai kesalahan politik Gus Dur yang terbesar yang secara langsung berpengaruh pada proses politik yang bermuara pada tergulingnya Gus Dur dari singgasana Presiden.
Dalam bukunya berjudul "Enam Bulan Jadi Menteri" ia kemudian menguraikan pengalamannya. Buku ini menurut pengantar penyusunnya, S. Sinansari Ecip, tidak hanya sebagai dokumentasi, tetapi juga sebagai pertanggungjawaban seorang pejabat tinggi kepada masyarakat.
Dalam buku ini, ia antara lain berkisah tentang dana Yanatera Bulog sebesar Rp 435 milyar. Pembicaraan tentang dana ini pada mulanya terkuak dari adanya keinginan Gus Dur untuk menyelesaikan masalah Aceh dengan memberi bantuan kemanusiaan.
Menurutnya, ada dua konsep pembukuan dana ini. Pertama, masuk anggaran biasa atau masuk neraca Bulog. Kedua, tetap sebagai dana taktis yang bisa dikeluarkan Kabulog atas persetujuan presiden.
Gus Dur ingin memanfaatkan dana itu. Tapi Jusuf Kalla yang merangkap tugas Kabulog meminta surat tertulis dari presiden. Akhirnya dana itu tak jadi dikeluarkan. Namun, kemudian tanpa pengetahuannya, dana itu dikeluarkan oleh Waka Bulog Sapuan sebesar Rp 35 milyar kepada Suwondo yang mengaku sebagai penasehat spritual presiden. Kasus ini kemudian dikenal dengan sebutan Buloggate.
DPR yang sudah sering "tersinggung" oleh beberapa ucapan dan keputusan Gus Dur, akhirnya membentuk Pansus Buloggate, yang melahirkan Memorandum I dan II dan bermuara pada Sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban presiden. Gus Dur menolak bahkan mengeluarkan dekrit pembubaran DPR dan MPR. Tapi dekrit itu ditolak bahkan SI MPR dipercepat memecat Gus Dur dari jabatan presiden.
Setelah Megawati Sukarnoputri naik tahta menjadi Presiden menggantikan Gus Dur, ia dipercaya kembali duduk di jajaran kabinet sebagai Menko Kesra periode 2001-2004.
Kiprahnya dalam menjalankan tugas sebagai Menko Kesra terbilang menonjol. Dia sukses meletakkan kerangka perdamaian di daerah konflik Poso dan Ambon. Lewat pertemuan Malino I, dia berhasil meredakan konflik di Poso. Kemudian, dia pun memprakarsai pertemuan Malino II. Dalam pertemuan ini, dia bisa mengajak kelompok Islam dan Kristen yang bertikai di Ambon untuk menghentikan pertikaian.
Mungkin, sebagaimana ditulis TEMPO, Muhammad Jusuf Kalla ini dilahirkan untuk bergelut dengan krisis. Sebab ketika masih berusia 25 tahun, putera Bone yang sepenuhnya setuju dengan pendapat para tetua di daerahnya, ini sudah harus memegang kendali bisnis ayahnya yang sedang menurun. Dan ia berhasil. Tangan dinginnya mampu menyingkirkan berbagai kesulitan dan menyelamatkan bisnis keluarganya. Lalu, pada usia bekepala enam, tangannya masih bertuah mengantarkan perdamaian di Poso dan Ambon.
Dengan merendah, ia mengatakan upayanya dalam perjanjian Malino adalah bahagian dari tugas sebagai seorang menteri, pembantu presiden, mengatasi masalah konflik dan kesejahteraan rakyat. Ia melihat konflik dan perselisihan akan menyebabkan kemiskinan, baik dalam bentuk materi ataupun nonmateri. Sehingga, kepada mereka yang bertikai, harus diberikan kesadaran untuk menghentikan konflik dengan cara damai bukan melalui perang.
“Karena mereka yang berselisih ini memandang dari sudut agama, jadi kita memberikan kesadaran dari sisi agama juga. Karena semua agama, menurut saya, melarang membunuh tanpa alasan yang jelas,” ujar Ketua IKA-UNHAS (Ikatan Alumni Universitas Hasanuddin) ini.
Kendati ia yakin bahwa konflik di Maluku bukanlah konflik agama, tapi awalnya dipicu oleh persoalan ekonomi. Bahwa akhirnya tampak sentimen agamanya yang dominan, menurutnya, itu karena orang tidak menelisiknya dari awal. Penyebab utamanya adalah gara-gara kelompok Kristen menjadi miskin karena harga cengkeh anjlok. Sementara orang-orang Islam di sana nasibnya lebih beruntung. Ia yakin atas kebenaran pendapatnya, karena memang ia cukup mengenal daerah yang berkonflik itu.
Di tengah konflik yang tajam waktu itu, ia berupaya memahami cara berpikir yang sederhana orang Islam dan Kristen di daerah itu. Mereka berpikir bahwa dengan semakin banyak membunuh semakin cepat masuk surga. Lalu ia berupaya secara ikhlas memberikan pengertian bahwa apa yang mereka lakukan baik itu kepada orang Islam maupun Kristen sebenarnya semakin membawa mereka masuk neraka. “Saya katakan demikian dengan nada yang keras bagi kedua kelompok,” kata nahdliyin yang menjabat Ketua Harian Yayasan Islamic Center AI-Markaz ini.
Ia merasa yakin kalau berani terjun langsung, berbicara dengan masyarakat bawah, persoalan apa saja dapat ditemukan jawabannya. Dengan keyakinan itu, ia bisa membujuk dua kelompok yang bermusuhan di Ambon untuk duduk dalam satu meja di Kota Malino, Sulawesi Selatan, Februari 2002. Walaupun, ikrar perdamaian itu sempat ternoda oleh sekelompok orang yang belum mepunyai kesadaran damai. Pada awal April 2002, terjadi kerusuhan yang membuat kompleks Kantor Gubernur Maluku luluh-lantak. Tak lama kemudian, meledak kerusuhan berdarah di Soya. Ambon pun sempat kembali tegang. Namun kesadaran masyarakat yang menginginkan damai sudah tumbuh. Sehingga kerusuhan itu tidak membuat mereka terpancing untuk bertikai lagi.
Ketika itu, sempat berkembang dugaan adanya upaya pihak tertentu untuk menggeser lagi penyelesaian konfflik di daerah itu dari perundingan ke penanganan secara militer. Bola solusi yang semula digiring oleh Menko Kesra diupayakan berpindah ke Menko Polkam. Apalagi ketika itu, Mayjen TNI Djoko Santoso diangkat menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Pangkoopslihkam) Maluku.
Tapi ia membantah terjadi perebutan bola solusi atau tumpang tindih dalam penanganan masalah Ambon dan Poso. Menurutnya, mereka menjalankan tugas saling melengkapi sesuai fungsi masing-masing. “Saya dan Menko Polkam, saling mendukung untuk dapat menyelesaikan tugas yang diberikan negara melalui presiden, baik itu di Poso, Ambon atau di Aceh. Untuk bagian Poso dan Ambon saya yang memimpin sedangkan untuk bagian Aceh Menko Polkam yang memimpin. Jadi kami saling bekerjasama,” katanya.
Ketika konflik antarmasyarakat sudah berhenti, perlu segera dilakukan penegakan hukum lewat penyerahan senjata, penindakan, penangkapan, penanganan desersi dan sebagainya. Hal ini adalah urusan tentara dan polisi di bawah koordinasi Menko Polkam. “Tapi soal rehabilitasi, soal pengungsi, dan sebagainya, saya yang menangani. Sedangkan Wakil Presiden mengevaluasi secara keseluruhan. Jadi, semuanya bekerja berdasar fungsi masing-masing,” kata putera bangsa kelahiran Watampone, Bone, 15 Mei 1942 ini.
Ia mengaku tidak merasa mengalami tantangan yang berarti dalam menangani konflik itu. Kiatnya adalah keikhlasan hati dan keberanian untuk memasuki pokok persoalan. Keikhlasan hati itu ditunjukkan dan dikomunikasikan. Kemudian, persoalan harus dipahami. Lalu, ada keberanian untuk menyikapi dan menentukan mana yang salah dan yang benar.
Memang, dalam menangani konflik Poso dan Ambon, ia berani mempersalahkan kedua belah pihak. Ia tidak hanya memuji dan membujuk mereka yang bertikai. Bahkan, “saya marah kepada keduabelah pihak itu,” katanya tulus.
Mengenai keyakinannya bahwa konflik Ambon bukan dipicu oleh urusan agama melainkan urusan ekonomi, ia mengatakan, sebanyak 75 persen konflik di dunia ini gara-gara masalah ketidakadilan dan kemiskinan. Itulah sebabnya sebagian besar konflik terjadi di negara-negara yang tingkat pendapatan per kapitanya rendah, seperti Malaysia, Filipina, India, atau Sri Lanka.
“Di Ambon juga begitu. Semua tak lepas dari pemiskinan yang terjadi di sana. Pada awal 1990-an, harga cengkeh di sana bisa Rp 10 ribu per kilogram. Tapi, setelah ada monopoli Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), harganya malah anjlok hingga tinggal Rp 2.000 per kilogram. Orang Ambon pun marah, lalu membabati tanaman cengkehnya. Akhirnya, mereka jatuh miskin dan banyak menganggur. Sebanyak 75 persen tanaman cengkeh berada di kampung- kampung Kristen,” jelasnya.
Sementara, katanya, para pendatang muslim dari Sulawesi Selatan dan Tenggara justru nasibnya makin bagus. “Mereka menguasai pasar, transportasi, angkutan kota, perdagangan antarpulau, dan sebagainya.. Bahkan warga muslim juga menguasai struktur pemerintahan. Sebelumnya Gubenur Maluku selalu beragama Kristen, tapi belakangan menjadi yang beragama Islam.
Dengan kondisi seperti itu, menurutnya, masalah sepele saja bisa menjadi pemicu konflik. “Kasus Ambon kan dimulai dari konflik sopir dengan pemalak atau orang menagih setoran. Tapi, dalam satu-dua hari telah berubah menjadi konflik agama yang susah berakhir. Malah belakangan datang Laskar Jihad dari kelompok Islam. Lalu muncul pula Front Kedaulatan Maluku dari kelompok Kristen. Keadaan tegang ini terus berlangsung hingga kita berhasil menghentikan konflik dan meneken kesepakatan Malino II.”
Mengenai bidang tugasnya sebagai Menko Kesra. Sesaat setelah dilantik 19 Juli 2001, ia mengatakan tujuan kita berbangsa dan bernegara ialah kesejahteraan rakyat (kesra). Akan tetapi, katanya, janganlah selalu memaknakan kesra itu dalam konteks bencana: gempa bumi, longsor, banjir dan gelombang pengungsian. Kesra yang dia maksudkan, jauh lebih luas dari itu, yakni membangun cita-cita berbangsa yang bermuara kepada kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.
Dia juga menekankan masalah kebersihan aparat, di lingkungan kerja Menteri Koordinator Kesra. “Aparat yang korup, mengomersialkan jabatan, KKN, atau melakukan tindak kejahatan lainnya, tidak akan saya tolerir. Saya pun akan mengajak aparat menciptakan suasana kondusif, misalnya dengan meningkatkan solidaritas pada golongan ekonomi lemah. Solidaritas itu, misalnya, bisa berupa mengurangi kebutuhan sekunder dan tersier,” janji menteri yang berlatarbelakang pengusaha sukses ini.
Menurutnya, sangat tidak bijak mendorong aparat terjebak dalam kebutuhan selera tinggi. Pokoknya, tingkat luxuries harus dikurangi, agar ada semacam solidaritas bangsa. Bagi kalangan berkemampuan ekonomi tinggi dan mempunyai uang lebih, silakan menikmati hidup ekstra nyaman. Akan tetapi, mungkin ada baiknya tidak terlampau ditonjol-tonjolkan agar tidak menampakkan perbedaan mencolok. Kini terdapat hampir 9 juta penganguran terbuka dan 40 juta yang setengah menganggur. Di jalan-jalan raya di banyak kota, tampak sangat banyak pengemis, gelandangan, anak-anak telantar, anak-anak yatim dan sebagainya.
Keprihatinan hidup sebagaian besar rakyat bangsa ini sangat dirasakannya. Maka ia pun menolak kemewahan di kantornya. Di ruang tunggu kantornya (Menko Kesra) hanya tersedia kursi lipat yang dijejer melingkar di ruang sederhana. Kursi tamu dalam kamar kerjanya juga sederhana.
Ketika menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan, ia memilih lebih pas bekerja sepenuhnya di salah satu kantornya yang lebih sederhana. Ketika itu, ia punya tiga kantor. Selaku menteri perindustrian ada kantor di Jalan Gatot Subroto. Selaku menteri perdagangan di Jalan Ridwan Rais, Menteng dan selaku Kabulog di Jalan Gatot Subroto.
Dua kantor itu dinilainya terlalu mewah. Satu di antaranya luasnya sekitar 200 m2. Ada ruang rapat khusus, bahkan ada tiga ruang rapat, tiga televisi, ada dapur, musala, kamar tidur dan kamar mandi dua. Dalam kondisi ekonomi negara yang hancur dan pinjaman menumpuk, rasanya tak pantas bermewah-mewah. Itulah yang timbul dalam benaknya. Maka ia pun memilih berkantor di Perindustrian yang luasnya sekitar 50 m2 dengan perabot yang sudah lama.
Ketika mempimpin perusahaannya, ia juga tidak mau bermewah-mewah. Ruang kerjanya sederhana, baik yang di Jakarta maupun di Makassar. Gaya hidup sederhana ini, ia tunjukkan pula dalam busana yang dipakai. Ia sangat jarang pakai stelan jas. Bahkan pakai safari dinas menteri juga jarang. Ia lebih sering memakai batik atau kemeja lengan panjang.
Padahal sebagai seorang pengusaha, tergolong konglomerat, ia sanggup saja hidup mewah. Tapi, itu tidak dilakukannya. Dari segi pendapatan (gaji), sesungguhnya ia 'nombok' sebagai menteri. Sama sekali ia tidak mengharapkan kekayaan dari jabatannya. Bahkan setiap bulan ia meminta prusahaannya menyediakan dana untuk berbagai keperluan yang secara langsung atau tidak langsung menunjang pekerjaannya sebagai pejabat publik.
Menteri yang juga dikenal sebagai kader Golkar yang cukup berpengaruh di Indonesia Bagian Timur, terutama di Sulawesi Selatan, ini sangat peduli atas percepatan pembangunan di kawasan timur itu. Hal ini tercermin dalam buku tentangnya berjudul: "Mari ke Timur!" (Penerbit PT Toko Gunung Agung, Jakarta, 2000). Buku itu berisi pikiran-pikirannya tentang Indonesia Timur.
Namun, bukan berarti ia hanya berpikir tentang kawasan Indonesia bagian Timur. Melainkan hal itu menunjukkan kepeduliannya untuk membangun seluruh negeri secara adil dan merata.
Secara politik ia juga dikenal tidak hanya bisa berkomunikasi dengan teman-teman separtainya. Ia bisa diterima di berbagai kelompok kepentingan. Ia bukan politisi sektarian. Ia seorang pengusaha dan politisi negarawan.
Namun, ia pernah juga diisukan aktip dalam diskusi pembentukan kaukus Islam. “Ini perlu diluruskan. Pertemuan itu bukanlah kaukus. Kami cuma berdiskusi agar tokoh-tokoh Islam dapat memahami berbagai masalah secara fair dan mendalam. Pers yang sibuk sendiri, menafsirkan terlalu jauh, sama dengan isu darurat militer di Ambon. Padahal, kami tak merasa membicarakan itu,” kata tokoh berlatarbelakang pengurus masjid, HMI, KAHMI dan ICMI ini.
Menurutnya, pertemuan-pertemuan yang sempat ditenggarai hendak menggulingkan Megawarti itu, betul- betul itu hanya diskusi untuk mencari solusi. “Di situ saya malah mengatakan bahwa kita tak usah bicara mengenai umat Islam, tapi bicara tentang bangsa. Kalau bicara tentang bangsa, itu sudah menyangkut 85 persen umat Islam. Kalau bangsa ini sehat dan kuat, Islam pun kuat. Jadi, yang dibutuhkan ummat adalah pemerintahan yang kuat. Pemerintah itu boleh siapa saja: boleh nasionalis, Islam, atau yang lain, terserah,” jelasnya.
Ia memang dikenal sebagai seorang anak bangsa, penganut agama Islam, yang berjiwa kebangsaan. Itulah sebabnya ia bisa dengan berani berbicara dengan kelompok-kelompok bertikai di Poso dan Ambon. Ia tidak berpihak kepada salah satu kelompok. Keikhlasan dan kejujurannya sudah dikenal oleh masyarakat setempat. Ia orang yang biasa menghargai orang lain, termasuk orang yang berbeda pandangan dan keyakinan dengannya.
Dari kecil ia memang sudah diasuh orang tuanya untuk hidup jujur dan menghargai orang lain. “Prinsip yang ditanamkan oleh orangtua saya sebenarnya sangat sederhana, yaitu menjadi orang yang bekerja sebaik-baiknya (bekerja keras), jujur dan menghormati orang lain. Salah satu dari sikap jujur itu adalah tidak menjadi orang yang melupakan janji atau mencederai janji.
Ayahnya, H Kalla, seorang pengusaha. Usaha yang dirintis orang tuanya ini kemudian berkembang di tangan generasi keduanya yang dinakhodai Jusuf Kalla. Lulusan S1 Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanudin Makasar, 1967, ini dari sejak usia muda memang sudah sering diikutsertakan dalam usaha, membantu orangtua. Sehingga ia dapat mengerti persoalan dalam dunia usaha.
Dalam dunia usaha, ia telah dididik untuk menjadi orang yang ulet, jujur, memperhatikan langganan, mempunyai visi ke depan dalam menjalankan usaha bersama karyawan-karyawan yang lain. Itulah yang mengantarkannya mampu mengendalikan sejumlah perusahaan di antaranya sebagai Direktur Utama NV. Hadji Kalla, PT Bumi Karsa, PT. Bumi Sarana Utama, PT. Kalla Inti Karsa dan Komisaris Utama PT. Bukaka Singtel International dan PT. Bukaka Teknik Utama sampai tahun 2001 sebelum ia menjadi menteri